Saksi di MK: Dampak Pemindahan IKN ke Pemerataan Ekonomi Sangat Kecil

Saksi di MK: Dampak Pemindahan IKN ke Pemerataan Ekonomi Sangat Kecil

Andi Saputra - detikNews
Kamis, 12 Mei 2022 15:33 WIB
Advokat Gregorius Yonathan Deowikaputra selaku pemohon menyampaikan paparannya pada sidang uji formil UU KPK di Gedung MK, Jakarta.
Sidang MK beberapa waktu lalu (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Mahkamah Konstitusi (MK) terus menggelar uji materi UU Ibu Kota Negara (IKN) secara maraton. Salah satunya meminta keterangan saksi dari pemohon M Fadhil Hasan, yang sehari-hari merupakan ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef).

"Argumen yang disampaikan pemerintah bahwa ini untuk memeratakan pembangunan antar-wilayah/provinsi sangat kecil dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut," kata Fadhil Hasan dalam sidang di MK yang disiarkan channel YouTube, Kamis (12/5/2022).

Apalagi saat ini angka utang negara sudah cukup besar, sehingga beban pembiayaan pembangunan IKN akan memberatkan ekonomi bangsa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saat ini defisitnya bertambah besar dan dibiayai utang sehingga tidak memungkinkan membangun sebuah projek seperti IKN tersebut. Bahwa berdasarkan kajian dari sebuah NGO, pemindahan IKN membawa kerusakan lingkungan," ungkap Fadhil Hasan.

Fadhil Hasan menjadi saksi karena pernah dimintai pendapat oleh DPR dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Panja IKN. Namun apa yang disampaikan ditampik DPR.

ADVERTISEMENT

"Apakah diberi draf/naskah RUU?" tanya kuasa hukum kepada Ahmad Fadhil.

"Tidak, hanya undangan saja. Saya dapat dokumen dari publik," jawab Ahmad Fadhil.

"Apakah RDPU dapat draf RUU?" tanya kuasa hukum menegaskan.

"Tidak," jawa Ahmad Fadhil tegas.

Lihat Video: Cak Imin Gelar Khataman Alquran-Tumpengan di Titik Nol IKN

[Gambas:Video 20detik]



Sementara itu, guru besar Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD menilai UU IKN telah cacat formil. Salah satunya tidak menyerap aspirasi masyarakat yang terdiri atas hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapat penjelasan.

"Pertama dari aspek narasumber yang diundang, pembentuk UU No 3 Tahun 2022 telah gagal untuk meyakinkan masyarakat bahwa partisipasi publik tersebut terutama diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas," urai Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD.

Kedua, platform digital berupa website dan YouTube yang lebih banyak digunakan sebagai penyebarluasan informasi. Hak-hak prosedural membutuhkan lebih dari sekadar mengunggah di website ataupun di kanal YouTube. Untuk sebuah rancangan undang-undang yang bersifat rumit dan kontroversial, masyarakat haruslah diberi kesempatan untuk memberikan masukan, kritik, dan bahkan proposal, yang kesemuanya harus direspons secara memadai oleh pembentuk undang-undang.

"Bahkan untuk rancangan undang-undang semacam ini, proses perdebatan di badan perwakilan tidak boleh diakselerasi," kata Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD menegaskan.

Ketiga, dalam perdebatan di DPR perlu diperhatikan relasi antara mayoritas dan 'oposisi'. Misalnya, apakah para narasumber diajukan oleh mereka yang berasal dari mayoritas ataukah pihak oposisi diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan narasumber?

"Apalagi jika rapat-rapat pembahasan banyak yang bersifat tertutup atau lebih banyak melakukan lobi-lobi politik yang sudah barang tentu tidak dapat dihadiri oleh masyarakat," pungkas Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD.

Halaman 2 dari 2
(asp/rdp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads