Analisis Polarisasi Sosial di Indonesia Jelang 2024 dan Antisipasinya

Analisis Polarisasi Sosial di Indonesia Jelang 2024 dan Antisipasinya

Eva Safitri - detikNews
Selasa, 10 Mei 2022 22:42 WIB
Ilustrasi Pendaftaran Capres-Cawapres (Luthfy Syahban/detikcom)
Ilustrasi (Luthfy Syahban/detikcom)
Jakarta -

Polarisasi atau pembelahan sosial di Indonesia disebut mulai terjadi saat Pemilu 2014. Sejumlah pakar menganalisis penyebab polarisasi sosial dan cara mengantisipasi agar tak bisa diredam atau bahkan dihilangkan dalam Pemilu 2024.

Direktur Eksekutif Akar Rumput Strategic Consulting atau ARSC (lembaga survei) Dimas Oky Nugroho melihat pembelahan sosial di Indonesia begitu mencolok saat dua pemilu terakhir. Dimas menyebut sampai ada pasangan suami istri yang pisah rumah gara-gara beda pilihan capres.

"Kalau di Indonesia Pemilu 2014 dan 2019 luar biasa pembelahannya, ada yang pisah rumah gara-gara beda capres," kata Dimas dalam diskusi virtual 'Politik Ekonomi di Pilpres Filipina dan Korea Selatan', Selasa (10/5/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dimas mengatakan perlunya formula politik untuk mempersatukan pembelahan yang terjadi akibat pemilu. Dia menilai penting sikap negarawan dalam pemilihan presiden.

"Kalau menurut saya, pembelahan sosial itu apakah diwakili oleh fenomena hate speech, apakah itu politik identitas atau apapun itu, yang sebenarnya jadi kebutuhan bangsa ini bahwa bagaimana pun pemimpinnya, yang menjadi kebutuhan yang sangat kritikal dari negara tersebut. Untuk menemukan formula politik, mereka bersatu, seperti, apapun pemimpinnya karena ini menyangkut nasib keberlanjutan sebuah bangsa," papar Dimas.

ADVERTISEMENT

Dimas lalu mengambil contoh terkait masalah pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia. Peraih gelar PhD bidang antropologi politik UNSW Sydney itu melihat ada perbedaan sikap di masyarakat terjadi kebijakan vaksinasi COVID hingga PPKM.

"Jadi itu bisa di-exercise. Contoh paling gampang, bagaimana sikap kita terhadap vaksin, bagaimana sikap kita terhadap pandemi, PPKM? Dan itu menghadirkan, menemukan sebuah formula bersama untuk kita menemukan kebersatuan tadi, dalam situasi yang harus dihadapi ke depan," ujarnya.

"Karena, menghadapi semua, negara bangsa yang terpecah, saya pikir nggak akan dapat momentum emas pascapandemi ketika negara-negara dunia sedang mencari tempat untuk tidak hanya berinvestasi, tapi untuk tumbuh dan berkembang," lanjut Dimas.

Karena itu Dimas melihat perlu ada formula politik untuk bisa menghilangkan polarisasi sosial di Indonesia. Salah satunya, sebut dia, formula politik untuk menyatukan 'cebong dan kampret'.

"Dengan kapasitas yang dimiliki Indonesia, saya pikir kita harus menemukan formula politik pasca-cebong kampret. Tapi tetap dengan tak mendegradasikan sistem demokrasi," kata Dimas.

RI dinilai harus belajar dari Filipina dan Korea Selatan, simak selengkapnya di halaman berikut.

Dalam diskusi yang sama, Direktur Megawati Institute Arif Budimanta melihat perlu ada antisipasi pembelahan sosial di Pemilu 2024. Arif berbicara perlunya konteks untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam kampanye politik terutama di media sosial.

"Pesan daripada konstitusi, dalam konteks untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, ini mungkin yang paling penting. Kampanye politik, baik melalui berbagai kanal, termasuk dalam hal kanal media sosial, harus diletakkan dalam suatu kerangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tentu dalam satu kerangka Bhinneka Tunggal Ika untuk memperkuat persatuan nasional," ujarnya.

Belajar dari Filipina-Korsel

Belajar dari pilpres di Filipina dan Korea Selatan yang menurutnya menghasilkan suara yang sedikit berbeda antar kandidat. Menurutnya persatuan sikap masyarakat harus tetap diutamakan usai pemilihan presiden.

"Itu yang menurut kami penting. Karena kita akan lihat apa yang terjadi setelah ini di Korsel ataupun di Filipina, karena di Korsel itu terjadi juga. Bedanya, hanya satu persen antara kandidat presiden Yoon dengan lawannya itu, bedanya hanya satu persen, bahkan sedikit berbeda dengan apa yang terjadi di Filipina," ujarnya.

"Tentu media barat juga melihat dari yang kita baca, yang dikhawatirkan dari media Filipina, karena ini representasi dari sebuah masa otokrasi. Karena dua strong man dalam sebuah latar belakang berjumpa, apakah ini mengembalikan sebuah masa otokrasi atau melanjutkan proses demokrasi yang deliberatif," lanjut Arif.

Halaman 2 dari 2
(eva/zak)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads