Meski, menurutnya, 'berisik' pada masyarakat demokratis biasa saja. Tapi dia berharap 'berisik'-nya masyarakat gegara berdebat soal kebijakan bukan identitas.
"Misalkan polarisasi pilihan kebijakan sedalam dan sejauh mana intervensi negara terhadap kehidupan sosial dan ekonomi. Pajak tinggi vs pajak rendah beserta turunnya pada postur anggaran negara. Pro-choice vs pro-life dan sebagainya. Sayangnya, keberisikan kita pada pemilu lalu bukan pada policy, tapi identity. Capres didukung 'partai Allah' vs capres didukung 'partai setan' dan isu-isu murahan semacam itu. Celakanya, isu inilah yang dimakan di akar rumput," jelasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, dia tidak menampik akan risiko biaya besar jika Pilpres 2024 diikuti 3 kandidat. Akan tetapi, dia menilai itu lebih baik daripada mengeluarkan biaya besar untuk mengatasi perpecahan.
"Ada konsekuensi biaya. Tapi, saya kira rupiah yang dikeluarkan untuk ronde kedua wajar dibayarkan ketimbang membayar biaya perpecahan dan keretakan sosial di akar rumput akibat pembelahan politik. Biayanya untuk jangka panjang jauh lebih mahal," ujarnya.
"Saya tidak punya angka detailnya. Harus dicek ulang. Saya hanya ingin gambarkan, dua pasang kandidatpun punya konsekuensi dana pengamanan yang besar. Apalagi biaya sosialnya, jauh lebih tinggi ketimbang ongkos demokrasi putaran kedua pemilu itu," sambungnya.
(maa/gbr)