Transportasi Darat 'Tak Bisa Diatur'
Masih kata Yayat, di antara darat, laut dan udara, transportasi daratlah yang paling tak bisa diatur, meski sudah direncanakan sebaik-baiknya. Berbeda dengan transportasi udara dan laut yang volume pelaku perjalanannya sudah terjadwal dan tak mungkin berbenturan satu dengan lainnya.
"Memang yang tidak bisa diatur dalam konteks pengaturan perjalanan itu ya perjalanan darat. Kapal ada jadwalnya, pesawat ada jadwalnya. Tetapi yang tidak bisa diatur adalah yang membawa kendaraan pribadi, di situlah persoalan terjadi," kata akademisi yang juga pengamat tata kota ini.
"Persoalan ketidaksinkronan antara apa rencana yang dibuat oleh pihak kepolisian, dengan apa yang direncanakan oleh masyarakat. Jadi kalau sekarang terjadi macet di mana-mana, ya tidak ada pilihan karena struktur jalan ya segitu-gitu saja," imbuh Yayat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Saran Agar Indikator Rekayasa Lalin Disosialisasikan
Yayat lalu bersaran agar kepolisian mensosialisasikan indikator cara bertindak mereka di lapangan. Semisal dengan membuat status merah, kuning dan hijau.
"Sebetulnya indikator-indikator itu yang harus diinformasikan kepada masyarakat. Seperti Katulampa, seperti menghadapi banjir ada siaga satu, siaga dua, tiga. Indikator merah, kuning atau hijau," ungkap Yayat.
Yayat berpendapat kata 'situasional' yang kerap digunakan dalam sosialiasi rekayasa lalu lintas masih belum dapat membuat paham seluruh masyarakat. Dengan indikator, menurut Yayat, masyarakat akan lebih mudah memahami.
"Nah masyarakat itu perlu panduan mengenai indikator-indikator itu sebagai early warning system. Jadi masyarakat bisa tahu kenapa polisi akan menutup atau membuka, memperpanjang atau membuat contraflow. Jadi sampaikan ke masyarakat indikator-indikator itu," saran Yayat.
(aud/hri)