Catatan di Lokasi Korban Gempa
Hadapi Gempa dengan Senyuman
Selasa, 30 Mei 2006 12:19 WIB
Bantul - Nyawa yang melayang tak kembali lagi, airmata mungkin sudah mengering. Sedikit tawa dan seulas senyum sudah bisa disembulkan sebagian warga korban bencana gempa bumi.Tiga hari lalu, Sabtu (27/5/206), saat gempa 5,9 skala Richter terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya, para korban masih menegang dalam menceritakan pengalamannya. Bisa jadi bencana alam itu adalah hal paling mengerikan dalam hidup mereka, yang barangkali akan terus menyisakan trauma.Namun perlahan-lahan mereka tampaknya mulai bisa menerima kenyataan. Yang terjadi sudahlah terjadi. Sedih iya, mengeluh iya, tapi untuk begitu seterusnya tidaklah perlu.Saat detikcom mendatangi beberapa wilayah korban bencana, Senin (29/5/2006), warga sangat terbuka dan ramah untuk menjawab setiap pertanyaan. Bahkan mereka cukup berebutan menceritakan pengalamannya pada waktu gempa, curhat soal kesulitan pascagempa, sampai mengeluhkan bantuan yang belum sampai atau minim.Obrolan pun berlangsung santai. Pengalaman mengerikan waktu gempa malah sudah seperti cerita lucu. "Aku waktu itu masih tidur, pas gempa langsung loncat dari jendela, nyebur sawah. Waktu itu cuma pake celana dalam doang lho, Mas," kenang Yulia Romawati, 24, warga sebuah desa di kelurahan Tegal Tirto, Sleman."Temenku itu lebih lucu. Dia cuma pake selimut. Maklum, masih pengantin baru," sambungnya sambil menunjuk seorang temannya yang bernama Desi Haryani."Memangnya habis ngapain?" tanya penulis. "Perang!" sambar Yulia yang disambut gerr oleh orang-orang lain, sementara Desi hanya tersipu-sipu malam. "Masih anget-angetnya, Mas," akhirnya ia berani bersuara. Lagi-lagi orang-orang tertawa.Di Dusun Ngrapyak Kulo di Kecamatan Kretek, beberapa warga mengerubungi detikcom yang kebetulan membawa kamera. "Foto-foto kita dong, Mas, biar masuk TV," kata seorang ibu-ibu, yang bikin penulis senyum dalam hati dan tak merasa perlu menjelaskan apa itu media internet.Anak-anak lalu dipanggil, mereka lalu berpose di depan rumah-rumah mereka yang bentuknya tidak karuan lagi. Lucunya, mereka berebut lokasi. "Jangan di situ. Di sini aja, lebih ancurrr.." Lalu para "model" itu "menggerutu" senang, tapi tetap mengikut.Begitu hasil foto digital diperlihatkan, suasana menjadi heboh. Mereka berebutan mengintip dari jendela kecil kamera. Ada yang "protes" karena tidak kelihatan, ada yang "menyesali" tampang jeleknya, atau sekadar senyum-senyum girang.Selain berpose bersama di depan puing-puing, beberapa keluarga minta dipotret di dalam rumahnya yang telah rusak berat -- mungkin untuk kenang-kenangan bahwa mereka dulu pernah tinggal di rumah itu selama bertahun-tahun, sampai gempa menghancurkan semuanya.Setelah rumah, warga juga minta difoto di depan tenda-tenda darurat, yang dibuat swadaya. "Maaf lho, Mas, cuma begini adanya," goda seorang pria yang bertelanjang dada dan memakai helm. Kali ini penulis tak bisa menahan tawa.Acara "senang-senang" selesai menjelang Ashar. Untuk sejenak penulis merasakan keceriaan pada diri warga yang baru kena musibah itu. Bantuan materi memang mutlak diperlukan, tapi hiburan yang bisa membuat mereka sejenak melupakan penderitaan, yang bisa membuat mereka tersenyum, tampaknya tidak kalah penting.Hadapi dengan senyumansemua yang terjadi biar terjadihadapi dengan tenang jiwasemua kan baik-baik saja(Dikutip dari sebuah lagu dari grup musik Dewa19)Keterangan Foto:Para warga korban gempa yang ikut menampang. Mereka sudah bisa sedikit tersenyum.
(asy/)