Sikap mawas diri (uraqabah) merupakan salahsatu ciri qalbu yang sehat. Ketika kita merasa selalu diawasi oleh Allah Swt dan malaikatnya yang ditenpatkan di dalam diri kita saat itu kita sadar untuk mengontrol diri dengan cara mengawasi diri kita untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak wajar. Kesadaran yang tumbuh di dalam qalbu karena merasa diawasi oleh Allah Swt perlu dipertahankan, guna tujuan dan perjalanan hidup kita tercapai. Betapa tidak, CCTV Tuhan pasti jauh lebih canggih daripada ciptaan manusia.
Pemandangan di hari akhirat ketika orang ditanya tentang dosa dan kejahatannya di dunia, mereka berusaha menyangkal. Namun penyangkalan tidak ada manfaatnya karena anggota badan yang pernah terlibat melakukan perbuatan itu berteriak memberikan pengakuan, akulah yang melakukannya. Misalnya, kaki menatakan aku yang melangkahkan kaki ke tempat maksiyat itu, tangan mengungkapkan aku yang memegang atau menandatanganinya, tenggorokan mengatakan aku yang menelannya, perut berteriak aku yang menampungnya, dan seterusnya. Ini semua menggambarkan kepada kita bahwa tidak ada kemungkinan kita bisa menyembunyikan kesalahan di hari kiamat. Ada ulama yang menggambarkan jangan sampai darah yang mengalir dalam tubuh kita tidak lain adalah tinta yang mencatat semua perbuatan kita, karena begitu seseorang meninggal maka darah tubuhnya lenyap entah ke mana.
Hal tersebut membuktikan bahwa Allah Swt selalu mengintai dan mengawasi secara aktif seluruh perbuatan hamba-Nya. Ini sesuai dengan hadis Nabi ketika suatu saat ia bertanya kepada Jibril tentang pengertian ihsan. Jibril menjawab: "Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Kalau engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa engkau dilihat oleh-Nya." Dalam hadis lain disebutkan: "Kalau engkau tidak melihat Allah, yakinlah engkau dilihat oleh-Nya". Ini menunjukkan tentang murâqabah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut bahasa, murâqabah berarti murâshadah, yaitu mengintai, hampir sama maknanya dengan pengawasan dan penantian. Menurut istilah para ahli hakekat, murâqabah ialah seorang hamba senantiasa menyadari bahwa segala gerak-geriknya berada dalam pengawasan Allah Swt. Murâqabah juga sering diartikan dengan memelihara rahasia (hati) untuk selalu merasa diawasi oleh al-Haqq (Tuhan) dalam setiap gerak-gerik, sebagaimana firman-Nya: "Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu". (QS. An-Nisa'/4:1).
Murâqabah merupakan sumber segala kebaikan. Seseorang tidak akan sampai pada derajat murâqabah kecuali setelah mengadakan muhâsabah (evaluasi) terhadap dirinya mengenai apa yang telah dilakukan pada masa lalu dan bagaimana memperbaiki ke depannya. Di kalangan ulama tasawuf mengartikan murâqabah kepada Allah dalam segala lintasan pikirannya, Allah akan memeliharanya dalam segala tingkah lakunya. Ibn `Atha' mengatakan ketaatan yang paling utama adalah murâqabah kepada yang Haqq (Tuhan) sepanjang masa. Abu Hafsh (al-Haddad) pernah mewasiatkan kepada murid dan sahabatnya kalau engkau duduk bersama orang lain, jadilah penasehat terhadap diri dan hatimu, serta janganlah kamu sampai tertipu oleh perkumpulan mereka, sebab mereka hanya bisa mengawasi lahiriahmu, sedang Allah mengawasi batinmu.
Sebagian ahli hikmah berkata kepada seseorang: "Merasa malulah kepada Allah sesuai kedekatan dan penegetahuanmu kepada-Nya, persiapkanlah dirimu untuk dunia sesuai dengan kebutuhan tinggalmu di sana, taatilah Allah sesuai kebutuhanmu kepada-Nya, dan berterima kasihlah kepada-Nya sesuai nikmat yang dianugerahkan kepadamu". Dengan demikian, sikap mawas diri yang biasa kita lakukan selain akan memberikan keuntungan duniawi, sudah pasti juga akan menjanjikan tempat yang istimewa di mata Allah Swt di akhirat kelak. Mawas diri tidak pernah mendatangkan penyesalan, sebaliknya kesemberonoan hiduplah yang paling banyak mendatangkan penyesalan.
Lihat juga Video: Alfie Alfandy, Pendiri Bikers Dakwah Mantan Artis Pecandu Narkoba