Pakar sosial Fachry Ali mengatakan mengatakan terlalu sempit jika memaknai sosok mantan Kapolri Jenderal (Purn) Hoegeng Iman Santoso dari kejujurannya saja. Fachry menyebut almarhum Hoegeng sebenarnya adalah sosok yang mengupayakan modernisasi Indonesia.
"Kesan saya, Hoegeng itu direduksi hanya pada Polri. Pak Hoegeng itu terlalu sesak tempatnya jika hanya di dalam Polri. Lalu Pak Hoegeng selalu ditekankan kejujurannya, tetapi tidak bermakna yang konseptual. Padahal Pak Hoegeng itu secara konseptual lebih besar dari yang dipahami," kata Fachry Ali dalam 'Hoegeng Awards 2022: Mencari Sosok Polisi Teladan di Tengah Tantangan Kekinian', Kamis (14/4/2022).
Fachry menuturkan Hoegeng menjalankan prinsip-prinsip abdi negara dengan baik. Hoegeng bahkan menjadi tokoh abdi negara panutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hoegeng kemudian bertindak di situ sebagai suatu model, apa yang disebut oleh Max Weber sebagai legal rational. Ini adalah suatu prinsip abdi negara, bahwa otoritas seseorang atau rekrutmen seseorang ke dalam birokrasi negara, dia tampil sebagai abdi negara pertama-tama karena kemampuan profesional, teknikal yang dia miliki," jelas Fachry.
Fachry melanjutkan sikap profesional Hoegeng konsisten sepanjang masa kepepimpinannya sebagai Kapolri. Fachry mengatakan sikap Hoegeng berpegang pada undang-undang yang mengatur soal tugas, pokok dan fungsi Kapolri.
"Otoritas atau wewenang Hoegeng itu didasarkan kesepakatan-kesepakatan yang diketahui bersama. Jadi misalnya sebagai Kapolri, maka Hoegeng hanya akan bertindak sesuai undang-undang yang ada. Kemudian menolak perintah-perintah di luar kerangka legal rational itu tadi," ucap Fachry.
"Sebagai Kapolri, dia tidak bisa dipesan untuk melakukan sesuatu yang di luar tugas-tugas legitimate. Hoegeng abdi negara yang mempunyai prinsip legal rational. Artinya Hoegeng itu berusaha mendorong modernisasi Indonesia, bukan hanya karena ingin jujur saja," lanjut Fachry.
Fachry mengatakan Hoegeng kala menjadi Kapolri berupaya membangun budaya legal rational, bukan budaya tradisional seperti zaman raja-raja, semisal praktik upeti. Fachry mengatakan Hoegeng berprinsip tak akan berlaku di luar prinsipnya.
![]() |
"Sering kita dengar dari Pak Hoegeng dia mengirim balik seluruh hadiah-hadiah yang ada, karena hadiah-hadiah yang ada itu, mungkin juga uang yang sampai pada dia di luar kerangka legal rational. Sikap budaya dia terhadap kekayaan, uang, sepanjang itu di luar kerangka legal rational, dia tolak," jelas Fachry.
Masih kata Fachry, Indonesia di era Orde Baru memang berkembang dari sisi ekonomi. Kendati di saat yang sama kemajuan ekonomi disambut dengan sikap-sikap masih tradisional.
"Orde Baru yang mengadakan pembangunan ekonomi, dan harus kita akui berhasil, Tetapi pada saat yang sama, perlakuan terhadap kekayaan material itu dilaksanakan dengan budaya tradisional. Hoegeng kemudian dengan menekankan prinsip-prinsip legal rational, dia pada dasarnya memperlihatkan secara langsung atau tidak langsung sikap demokratis, melawan absolutisme pemerintahan saat itu," terang Fachry.
"Hoegeng itu adalah model tidak hanya untuk Polri, tapi model untuk seluruh abdi negara. Apa yang disebut Hoegeng Awards jangan hanya diberikan kepada polisi, tetapi semua abdi negara yang seperti Hoegeng. Ini yang saya sebut memperluas makna Hoegeng," pungkas Fachry.