Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) buka suara terkait disertasi metode cuci otak dr Terawan Agus Putranto di Universitas Hasanuddin (Unhas). MKEK menduga ada tekanan ke para pembimbing Terawan saat menjalani disertasi itu.
Anggota MKEK IDI Rianto Setiabudy menilai disertasi Terawan memiliki sejumlah kelemahan secara subtansial. Pertama penggunaan heparin yang disebut bisa merontokkan gumpalan darah. Rianto berbicara sebaliknya.
"Pertama menggunakan heparin, jadi kira-kira begini, disertasi itu suatu metode radiologi menggunakan kateter dari suatu pembuluh darah di paha sampai ke otak, di sana dilepaskan kontras. Kontras itu akan menunjukkan di mana letak mampetnya itu, supaya ujung kateter itu kebuka diberikan dosis kecil heparin untuk mencegah bekuan darah di ujung kateter," kata Rianto dalam rapat bersama Komisi IX DPR, Senin (4/4/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi dosis kecil ini tidak bisa diharapkan untuk merontokkan gumpalan dari, jadi hanya sekadar mencegah mampetnya gumpalan darah. Jadi ketika itu digunakan maka timbul masalah besar sekali. Yang menggunakan ini orang-orang stroke yang sudah lebih dari sebulan. Jadi bekuan darah itu mengeras di situ dan tidak mungkin kita cari di literatur manapun yang menunjukkan heparin efektif merontokkan gumpalan darah itu," lanjut Rianto.
Rianto kemudian menyebut kalau disertasi Terawan tidak punya pembanding. Menurutnya, penelitian akan dinilai cacat tanpa pembanding.
"Yang melakukan uji klinik ini adalah kelompok yang tidak punya pembanding, tidak punya kontrol, uji klinik yang benar akan mengatakan kita sulit sekali menerima kesahihan penelitian tanpa pembanding, ini penelitian yang cacat besar," ujarnya.
Kelemahan lain yakni tolak ukur yang dipakai dalam disertasi. Rianto mengatakan dalam penelitian yang dijadikan tolak ukur seharusnya manfaat pasien.
"Ketiga adalah beliau menggunakan tolak ukur keberhasilan menggunakan parameter pengganti, pelebaran pembuluh darah atau masa potensial. Seharusnya uji klinik yang baik tolak ukurnya tidak boleh itu, tapi perbaikan yang betul-betul dirasakan manfaat oleh pasien, misalnya tadinya nggak bisa urus diri sekarang bisa urus diri, tadinya nggak bisa jalan sekarang bisa jalan, itu tolak ukur yang benar," ucapnya.
Rianto juga mengatakan sampel yang diambil dalam disertasi Terawan tidak jelas. Kelemahan terakhir, menurutnya, yakni terkait prosedur.
"Keempat dasar penentuan sampel 75 orang itu tidak jelas, dan kelima dia menggunakan sesuatu prosedur diagnostik yang digunakan untuk prosedur terapiotik," ucapnya.
Menurutnya Rianto, para pembimbing disertasi itu mengetahui sejumlah kelemahan tersebut sejak awal. Namun para pembimbing diam.
Rianto lantas menduga adanya tekanan ke para pembimbing tersebut. Meski dia tidak mengetahui bentuk tekanannya.
"Kita mungkin akan bertanya kenapa para ilmuwan yang menjadi pembimbing, itu pada waktu melakukan disertasi diam saja, kan tadi ada seperti itu ya," ujarnya.
"Saya dengan hal ini mengatakan hormat saya setinggi-tingginya pada Unhas, dan juga hormat saya kepada tim pembimbing mereka karena mereka tahu sejak awal weakness ini mereka tahu. Cuma mereka terpaksa mengiyakannya karena konon ada tekanan eksternal yang saya tidak tahu bentuknya apa," lanjutnya.
(eva/jbr)