Orang yang arif mampu mengontrol pembicaraan. Ia mampu memilih saat yang tepat untuk bicara, materi pembicaraannya terukur, cara menyampaikannya pun santun dan bijaksana. Terkadang seseorang mampu berpuasa untuk tidak makan selama sebulan tetapi belum tentu bisa berpuasa bicara tiga hari. Mungkin itulah sebabnya Nabi Zakaria diminta untuk berpuasa bicara tiga hari, bukan berpuasa makan dan minum selama tiga puluh hari.
"Dia (Zakaria) berkata: Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda, (Allah) berfirman, "Tandamu ialah engkau tidak dapat berbicara dengan manusia selama tiga malam, padahal engkau sehat" (Q.S. Maryam/18:10).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa menahan diri untuk tidak berbicara kepada manusia, ternyata sesuatu yang sulit. Apalagi jika ada obyek pembicaraan yang menarik untuk dibicarakan. Bahkan Al-Qur'an menyerukan kita untuk sesekali berada dalam suasan sunyi senyap untuk mengingat Allah swt, sebagaimana dalam firman-Nya: "Sunyi senyaplah segala suara karena (takut) kepada Allah Yang Maha Pengasih, sehingga tiada Ellah swt, sebagaimana dalam firman-Nya: "Sunyi senyaplah segala suara karena (takut) kepada Allah Yang Maha Pengasih, sehingga tiada Engkau dengan kecuali suara halus (bunyi telapak kaki)". (Q.S. Thaha/20:108).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hadis Nabi juga banyak ditemukan yang menasehatkan agar kita membatasi diri untuk bicara dan sekaligus mengontrol pembicaraan saat bicara. Rusulullah bersabda: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka hendaklah berkata dengan baik atau lebih baik diam". Seruan dan peringatan Allah Swt dan Rasul-Nya agar manusia membatasi diri untuk bicara, terutama jika yang dibicarakan itu menyangkut aib atau fitnah yang dapat menghancurkan nama baik orang lain, sangat banyak mendapatkan banyak penekanan. Ini bisa dimaklumi bawah pembicaraan yang dapat menjadi sumber malapetaka dalam sejarah kemanusiaan.
Contoh buruk sebuah pembicaraan yang mengandung fitnah, bisa mendorong orang untuk menghancurkan orang lain. Al-Qur'an mengingatkan: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang". (Q.S. al-Hujurat/49:12).
Aib dan fitnah semakin marak terlihat di dalam masyarakat, terutama setelah media masa begitu marak. Ironisnya, perbuatan yang tercela ini paling banyak diminati oleh para pemirsa. Perhatikan media infotaimen yang ditayangkan oleh hampir semua TV, baik TV publik maupun TV berlangganan. Isi tayangan antara lain pengungkapan hal-ihwal para selebriti, pejabat, dan tokoh-tokoh publik lainnya. Isi pemberitaan tersebut hampir semuanya tentang hal-hal yang miring dan dapat memojokkan orang lain yang menjadi sasaran.
Prof. Nasaruddin Umar
Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)
(erd/erd)