Jakarta - Banyak orang mencibir Soeharto, namun tidak bagi sebagian lainnya. Mereka yang mengenal secara pribadi mengatakan kalau bukan seseorang yang memiliki ketahanan tubuh luar biasa sudah tidak akan kuat menderita sakit seperti Soeharto. Katimin, warga Wuryantoro, Wonogiri, memang tidak mengenal secara pribadi Soeharto secara langsung. Namun neneknya, almarhumah Ny Djo Sentiko, adalah orang dekat Soeharto. Dari neneknya inilah Katimin mengetahui banyak cerita tentang masa lalu Soeharto semenjak kecil.Di masa mudanya Mbah Djo adalah pembantu keluarga Mas Ngabehi Prawirowihardjo atau yang lebih dikenal sebagai Pak Bei Tani, seorang mantri pertanian di Wuryantoro. Sejak umur tujuh tahun hingga berdinas di kemiliteran Belanda, Soeharto ikut keluarga tersebut.Bukan tanpa alasan Soeharto ikut keluarga tersebut. Bu Bei Tani adalah adik kandung dari Pak Panjang, ayah Soeharto. Ketika orangtuanya bercerai, Pak Panjang yang miskin lalu menitipkan anaknya kepada keluarga adik perempuannya itu agar dipelihara lebih terjamin serta disekolahkan.Pak Bei Tani ini pulalah yang di kemudian hari menjodohkan Soeharto dengan Siti Hartinah, anak perempuan Soemoharjomo yang saat itu menjabat sebagai
wedana di Wuryantoro.Pak Bei Tani sendiri memiliki sepuluh anak, termasuk salah satunya adalah Sudwikatmono. Sebagai keponakan tentu perlakukan terhadap Soeharto berbeda dengan perlakukan Pak dan Bu Bei terhadap anak-anak kandungnya baik pekerjaan yang harus diselesaikan hingga soal jatah makannya.Rupanya Mbah Djo, menaruh iba terhadap Soeharto. Jika para anak Pak Bei diberi makan nasi beras maka Soeharto harus makan
thiwul yang terbuat dari tepung singkong. Tempat tidur dan tempat makannya pun harus menyendiri."Menurut simbah, dulu dia sering mengambilkan nasi beras dan lauk bagi Pak Harto. Caranya nasi beras dan lauk itu ditaruh di bagian bawah lalu ditutup dengan
thiwul di bagian atas piring. Simbah juga sering membantu menyelesaikan pekerjaan yang harus diselesaikan Pak Harto," papar Katimin di lokasi Padepokan Pak Bei Tani di Wonogori.Soeharto ternyata tidak melupakan budi baik itu. Ketika menjadi presiden, beberapa kali dia menjenguk Mbah Djo di Wuryantoro.Kedatangannya tidak pernah memberitahu terlebih dulu, namun selalu diam-diam tanpa banyak pengiring."Masih menurut simbah, sejak kecil memang Pak Harto sama sekali tidak pernah mengeluhkan penderitaannya. Selalu memilih diam dan selalu menampakkan kegembiraan. Hal itu sangat membantu beliau menghadapi segala cobaan dan ujian hidup," lanjut Katimin.Katimin saat ini menjadi penjaga Padepokan Pak Bei Tani. Padepokan itu dibangun di bekas rumah Pak Bei di Wuryantoro, 15 km sebelah selatan Kota Wonogiri dan diresmikan tahun 1987, sebagai monumen bagi Soeharto yang menghabiskan masa kecilnya hingga remaja dengan suka dan dukanya."Semuanya bangunan baru, sama sekali berbeda dengan rumah asli Pak Bei dulu. Yang tetap dipertahankan hanyalah sumur tua, dua pohon melinjo dan satu pohon kelapa. Satu lagi yang tidak boleh dibongkat adalah bak air untuk mandi yang merupakan bangunan buatan Pak Harto sendiri di waktu muda," ujar Katimin.
Tapa KungkumPribadi tangguh Soeharto terbentuk oleh penderitaannya. Selain itu dia membiasakan diri melakukan ritual berendam diri dalam air atau dalam kepercayaan Jawa disebut
tapa kungkum. Bertapa jenis ini dipercaya sangat berpengaruh bagi ketahanan tubuh pelakunya.Semenjak muda dan bahkan ketika sudah menjabat sebagai presiden, dia gemar melakukan ritual tersebut. Narasumber
detikcom yang tinggal di Tawangmangu, mengaku sering menemani Soeharto melakukan ritual
kungkum maupun naik ke puncak Gunung Lawu, salah satu pusat kekuatan mistik di Jawa.Tempat-tempat yang sering digunakan
kungkum Soeharto adalah Petilasan Panembahan Senopati di Dlepih, Tirtomoyo, Wonogiri. Tempat tersebut sering dikunjungi Soeharto semenjak muda hingga menjelang menjabat Presiden.Sedangkan di saat menjadi Pangdam Diponegoro, tempat
kungkum-nya adalah di Kaligarang, Semarang. "Bahkan di tempat beliau dulu sering
kungkum, sekarang dibangun sebuah monumen yang disebut Tugu Soeharto," ujar sumber yang enggan disebut jati dirinya tersebut.Setelah menjadi Presiden, Soeharto masih sering menjalani ritual itu. Lokasi yangdipilih adalah sebuah tempat di Bogor. "Tempat itu bukan lagi lokasi terbuka karena sudah didirikan sebuah bangunan rumah yang dimiliki Almarhum Pak Sudjono Humardani, salah satu penasehat spiritual beliau," lanjutnya.
Tapa kungkum, kata dia, tidak hanya berefek secara mistis namun juga membangun kekuatan fisik agar lebih kuat dan tahan terhadap serangan penyakit. Seseorang yang biasa rajin melakoninya akan menjadi lebih sehat, memiliki kesehatan organ pernapasan yang tangguh serta tidak mudah lelah meskipun sudah dalam kondisi tua."Saya pernah mengiringi beliau naik ke puncak Lawu. Ketika yang muda-muda sudah ngos-ngosan kelelahan, beliau yang saat itu juga sudah cukup berumur sama sekali tidak terlihat lelah hingga sampai puncak," ujar pelaku kebatinan yang cukup akrab dengan almarhum Ny Tien Soeharto tersebut. "Kekuatan fisik beliau memang luar biasa, ditambah lagi beliau bukan pribadi yanggampang menyerah dan memiliki ketabahan menerima penderitaan yang tangguh. Itu semua adalah buah masa lalunya yang pahit yang dijadikan sebagai pengalaman batin," lanjutnya.
Doa OrangtuaSoeharto adalah anak tunggal buah perkawinan Pak Panjang dan Ibu Sukirah. Namun sebelum menikahi Sukirah, Pak Panjang telah menikah dan dikaruniai dua orang anak.Setelah menceraikan Sukirah, Pak Panjang menikah lagi dan dikaruniai empat orang anak. Sukirah kemudian juga menikah lagi. Dari pernikahannya yang kedua ini, Sukirah dikaruniai tujuh orang anak, termasuk diantaranya adalah Probosutedjo dan Notosuwito, Kepala Desa Argomulyo, Bantul, yang belum lama ini meninggal dunia.Ada cerita yang cukup menarik untuk disimak dalam kehidupan Soeharto. Setelah dialahir, ibunya menghilang selama 40 hari tanpa satu pun orang yang mengetahui kemana dia pergi. Setelah pulang, Sukirah mengaku baru selesai bertapa untuk masa depan Soeharto, anaknya yang baru saja dilahirkannya.Cerita yang melingkupi kehidupan Soeharto ini kemudian membuahkan kontroversi. Pada dekade 70-an, tersebar sebuah cerita miring bahwa sebenarnya Soeharto adalah anak hasil hubungan gelap Sukirah dengan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) VIII. Tersiarnya kabar tersebut membuat Soeharto perlu membuat pelurusan.Sejumlah saksi hidup didatangkan ke istana negara untuk membuat kesaksian. Dia kemudian juga membeberkan secara gamblang silsilah keluarganya. Bahkan di Padepokan Pak Bei Tani juga dipasang sebuah silsilah dengan judul 'Silsilah Keluarga Saya (oleh Soeharto)'.
(ddn/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini