"Kami sangat mendukung tuntutan jaksa yang tinggi dalam kasus tipikor, yang nilainya besar. Mungkin nanti dikategorisasi saja, dibikin standar. Di atas Rp 100 M, tuntutannya hukuman mati atau seumur hidup," kata Habiburokhman dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Kejaksaan RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/3/2022).
Lantas, dia menilai hukuman tersebut dapat menimbulkan efek jera sekaligus menyelamatkan keuangan negara akibat tipikor. "Jadi tetap saja efek penjeraannya dapat dan pengembalian kerugian negaranya dapat," imbuh dia.
Lebih lanjut, dia mengusulkan strategi penyelamatan keuangan negara tak hanya dilakukan dalam kasus tipikor melainkan tindak pidana di bidang ekonomi lain yang secara prinsip merugikan keuangan negara.
"Lalu soal penyelamatan kerugian negara, tidak hanya tipikor, tapi tindak pidana di bidang ekonomi lain yang secara prinsip merugikan keuangan negara, merusak sistem ekonomi negara," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, sebelumnya Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah menyampaikan sejumlah strategi dalam mengoptimalkan penyelamatan keuangan negara dari perkara tindak pidana korupsi (tipikor). Dia menyebut pertanggungjawaban pidana pada tipikor tak hanya diarahkan kepada subjek hukum perseorangan, tapi juga korporasi.
"Pertanggungjawaban pidana tidak hanya diarahkan kepada subjek hukum orang perseorangan, akan tetapi juga subjek hukum korporasi," kata Febrie Adriansyah.
Dia melanjutkan pemidanaan yang diarahkan kepada korporasi untuk memunculkan efek jera dalam tindak pidana korupsi. Selain itu, sebutnya, strategi tersebut untuk menghasilkan pendapatan negara dari korporasi yang terkena hukuman pidana denda.
"Maksudnya adalah bahwa pemidanaan tidak hanya diarahkan kepada subjek hukum orang perseorangan tetapi kepada subjek hukum korporasi untuk memunculkan efek penjeraan, tetapi juga akan menghasilkan pendapatan negara karena korporasi sebagai pelaku tindak pidana akan dihukum untuk membayar denda," ujar dia.
Strategi lain, dia menyebut, tak hanya berfokus pada pembuktian unsur merugikan negara, tapi juga merugikan perekonomian negara. Menurutnya, dampak kerugian perekonomian negara akibat tindak pidana korupsi saat ini masih belum menjadi pedoman standar penanganan oleh aparat penegak hukum di Indonesia.
"Kita akan melakukan penerapan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak hanya fokus pada pembuktian unsur merugikan keuangan negara tetapi juga pembuktian unsur merugikan perekonomian negara," katanya.
"Pengoptimalan ini dipandang perlu karena penanganan perkara tindak pidana korupsi saat ini hanya menitikberatkan kepada pemulihan keuangan negara, sedangkan di sisi lain kerugian perekonomian negara akibat tindak pidana korupsi belum menjadi pedoman standar penanganan oleh aparat penegak hukum di Indonesia," imbuhnya. (fca/gbr)