Taftiys
1981, Bayturrahman...
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rumah ibadah itu berukuran mini. Sejatinya, ia belumlah layak disebut masjid. Hanya karena merupakan satu-satunya tempat salat di komplek itu, ia terpaksa menyandang maqam masjid. Anehnya, ia bisa menampung hingga 300 an remaja. Setiap bel usai berdentam, sudah tak terlihat santri di jalan-jalan menuju masjid. Tapi, sore itu, senyap menyergap. Qismul Amn, muallim Abdurrahman Karim berdiri membeku. Cambang merambat lebat.
Semua bisa melihat jelas, sajadah berpilin bergerak ritmis mengayun dalam genggaman. Ia minta semua santri kembali ke kamar. "Sore ini ada taftisy," katanya tanpa ekspresi. Kaku. Beku. Jamaah masjid saling toleh. Cemas membayang di bola mata mereka. Bak gerakan mekanis yang konstan, mereka bersegera ke kamar dalam tanya. Kamar yang dihuni anak-anak santri, dari kelas 1 hingga 4. Kecuali santri kelas 5 dan 6. Lho !
Mereka tak termasuk objek taftiys. Justeru mereka lah inisiator kegiatan tersebut. Apa itu taftisy ? Ini istilah sidak--inspeksi mendadak, di Pondok Pesantren Tarbiyatul Mu'allimien Al Islamiyah (TMI)--yang di kemudian melebur dalam Pondok Pesantren Al Amien. Seperti istilahnya, sidak tak dilakukan berkala apalagi terjadual. Sidak dilakukan karena alasan khusus dalam konteks "kegentingan". Alasan "kehilangan" salah satu penyebabnya.
Iqob Tahdzibi
Taftiys yang dilakukan Qismul Amn atau Security Section alias Bagian Keamanan ISMI--Ikatan Santri TMI, adalah pemeriksaan dalam level yang meliputi semua santri. Selain yang dikecualikan di atas. Sasarannya adalah properti santri yang disimpan di dalam lemari. Jika ada gambar wanita bukan mahrom, misalnya, santri mesti bertanggungjawab. Atau senjata tajam, atau barang asing lain. Iqob tahdzibi menanti pelanggar.
Ada agenda taftisy lain yang sifatnya lebih terbatas, yakni taftisy yang dilakukan atas inisiatif wali kelas. Biasanya untuk kelas satu hingga kelas tiga. Waktu Penulis duduk di kelas 1 B, wali kelas Ust Mujammi' Musyfi, menggunakan taftisy sebagai salah satu medium melatih anak asuhnya, para santri kelas satu, belajar bertanggungjawab atas semua yang ada di dalam lemari ; tempat barang milik santri disimpan.
Waktu duduk di kelas 2 B, wali kelas Penulis, Ust Husein, juga melakukan hal yang sama. Meski bukan agenda tertulis, tapi taftisy sangat efektif jadi cara memupuk disiplin diri, terutama terkait ikhtiar para santri membangun rasa dengan wali santri. Bahwa ; tidak semua orang tua bisa dengan mudah menyiapkan barang-barang yang dibutuhkan para santri. Bahwa ; barang-barang itu adalah lelehan keringat dan butiran munajat tengah malam ayah bunda mereka.
Atau, itulah uang yang mereka tabung dalam waktu yang tidak sebentar. Diantarkan setiap Jum'at. Dimasukkan dalam karung bekas terigu. Para wali santri, menunggu di bawah naungan pohon kelapa. Pohon yang berbaris memanjang, memamagri pondok, menjatuhkan buah untuk guru besar kami, KH Moh Idris Jauhari, dalam menghidupi keluarga. Pohon yang di malam hari menjelma suar karena limpahan cahaya lampu para santri saat murojaah.
Ketika jadi wali kelas, Penulis coba menjadikan taftisy sebagai bentuk pendekatan rasa dengan para santri. Semua santri asuhan Penulis, dibekali buku khusus berisi catatan semua aset dan properti para santri. Satu-satu barang berpindah nama, dari lemari ke dalam buku. Jumlah baju, sarung, celana dalam semua jenis, kopiah, gesper, dasi, kacu pramuka. Atau piring, alat-alat kelengkapan kelas, jam tangan, peniti, parfum, gayung.
Status Jarum Jahit
Bahkan kancing baju dan jarum jahit, harus dicatat. Walhasil tak ada barang tak terdaftar. Bulan depan, atau dua bulan kemudian, wali kelas kembali akan menggelar sidak. Melakukan kegiatan stock opname berdasar daftar dalam catatan bulan sebelumnya. Para santri menunggu giliran di luar pintu kamar yang ditutup rapat, dan dijaga kakak mulahidz. Karena santri sekelas tidak selalu berdiam di kamar yang sama, maka sering taftisy digelar pada jam pelajaran yang diampu para wali kelas.
Catatan yang dimiliki wali kelas, akan dicek silang dengan catatan santri dan barang real time di lemari. Kalau ada barang menghilang dari daftar, santri harus "memulangkan" ke lemari. Apa pun itu, hatta sebuah jarum jahit. Kecuali barang yang mudah rusak. Itu pun, si santri mesti menjelaskan kepada wali kelas, di mana barang rusak dimaksud. Di TMI, semua aset dan properti, sekecil jarum sekalipun, harus jelas status dan pertanggungjawabannya.
Terlebih, barang-barang "berharga" semacam buku dan materi pelajaran. Semua buku wajib dan khulasoh sebagai buku pendamping harus dibubuhi identitas, seperti nama pemilik, misalnya. Jika ditemukan tercecer, dengan mudah akan kembali ke pemiliknya, sesuai nama di buku. Atau masuk barang "luqthoh." Barang ini biasanya dijejer di rak masjid Bayturrahman atau diumumkan oleh Qismul I'lam lewat i'lan ba'da isya.
Jika hingga tiga hari barang tidak diambil pemiliknya, Qismul I'lam akan menyerahkan kepada muraqqi--staf pendamping wali kelas. Di waktu murojaah, pemilik akan "disidang". Sanksi yang mendidik, seperti membuat insya atau menghafal sejumlah bait nadzoman, atau membuat khulasoh, akan dikenakan kepada pemilik buku yang tercecer. Jadi ! Jangan membayangkan, ada barang yang tidak kembali pada pemiliknya.
Di TMI, peran wali kelas sangat sentral dan menentukan. Melampaui tugas domestik di kelas. Mengambil peran orang tua. Setia setiap saat menerima curahan hati santrinya. Menemani selama 24 jam. Menjaga dan mengawasi waktu murojaah setiap malam. Bezoek saat sakit di mardha Qismus Shihhah. Bahkan, paham detail keuangan santri. Bagi mudir ma'had, para wali kelas adalah nara sumber utama soal santri.
***
Itu dulu. Semoga berlanjut sampai sekarang. Saat Penulis mengenang ini semua, Mudir TMI, KH Dr Ghozi Mubarok Idris, MA, mengangguk. Kelopak matanya basah. (*)
* Ishaq Zubaedi Raqib
Penulis adalah anggota SISKAL, alumnus marhalah 1987 di TMI Al Amien
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)
(erd/erd)