Jaksa Agung ST Burhanuddin menghadiri launching rumah restorative justice yang digelar secara virtual di 9 kejaksaan tinggi di daerah. Rumah restorative justice itu dibuat sebagai tempat musyawarah masyarakat sebelum masuk ke ranah penegak hukum.
Jaksa Agung menyambut baik diselenggarakannya rumah restorative justice ini, karena kegiatan ini merupakan sebuah manifestasi bukti keseriusan Kejaksaan dalam menjalankan salah satu fokus pembangunan hukum di Indonesia, yaitu berkaitan dengan implementasi restorative justice sebagaimana yang diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, di mana Arah Kebijakan dan Strategi Bagian Penegakan Hukum Nasional ditujukan pada perbaikan sistem hukum pidana dan perdata, yang strateginya secara spesifik berkaitan dengan penerapan keadilan restoratif.
"Tidak dipungkiri lagi Keadilan Restoratif telah menjadi salah satu alternatif penyelesaian perkara pidana, di mana hal yang menjadi pembeda dari penyelesaian perkara ini adalah adanya pemulihan keadaan kembali pada keadaan sebelum terjadinya tindak pidana, sehingga melalui konsep penyelesaian keadilan restoratif ini maka kehidupan harmonis di lingkungan masyarakat dapat pulih kembali," kata Jaksa Agung ST Burhanuddin, melalui Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana, Rabu (16/3/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Konsep keadilan restoratif merupakan suatu konsekuensi logis dari asas ultimum remedium, yaitu pidana merupakan jalan terakhir dan sebagai pengejawantahan asas keadilan, proporsionalitas serta asas cepat, sederhana dan biaya ringan, oleh karena itu penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kepentingan korban dan kepentingan hukum lain," ujar Burhanuddin.
Jaksa Agung mengatakan konsep keadilan restoratif, terutama ditujukan untuk memulihkan kedamaian dan harmoni dalam masyarakat, sehingga jaksa sebagai penegak hukum dan pemegang asas dominus litis, dalam rangka pelaksanaan tugas penegakan hukum dan keadilan harus lebih mengutamakan perdamaian dan pemulihan pada keadaan semula, bukan lagi menitikberatkan pada pemberian sanksi pidana berupa perampasan kemerdekaan seseorang.
Acara launching tersebut dilakukan secara serentak di 9 wilayah kejaksaan tinggi, yakni Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Kejaksaan Tinggi Aceh, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau, dan Kejaksaan Tinggi Banten secara virtual.
Hadir dalam acara ini Ketua Komisi Kejaksaan RI Dr. Barita Simanjuntak, SH, MH, CfrA, para kepala kejaksaan tinggi beserta jajaran, para kepala kejaksaan negeri setempat beserta jajaran, para gubernur berserta jajaran Forkompimda, para bupati dan wali kota berserta jajaran Forkompimda, para aparat pemerintah daerah setempat, para tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan sivitas akademisi setempat.
Burhanuddin mengatakan perdamaian melalui pendekatan keadilan restoratif merupakan perdamaian hakiki yang menjadi tujuan utama dalam hukum adat, sehingga sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang sangat mengutamakan kedamaian, harmoni, dan keseimbangan kosmis.
Pada hakikatnya keadilan restoratif selaras dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya Sila Kedua yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan untuk diperlakukan sama di muka hukum dan juga merupakan cerminan dari Sila Keempat di mana nilai-nilai keadilan diperoleh melalui musyawarah untuk mufakat dalam penyelesaian masalah.
Burhanuddin menambahkan proses pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif membutuhkan nilai-nilai keadilan dan kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat setempat, maka dalam hal ini Kejaksaan memandang diperlukan suatu ruang guna dapat menghadirkan Jaksa lebih dekat di tengah-tengah masyarakat untuk dapat bertemu dan menyerap aspirasi secara langsung dari tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat, guna menyelaraskan nilai-nilai tersebut dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia guna mengambil keputusan dalam proses pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Ruang ini, Jaksa Agung berharap dapat menjadi sebuah rumah bagi aparat penegak hukum khususnya Jaksa untuk mengaktualisasikan budaya luhur Bangsa Indonesia yaitu musyawarah untuk mufakat dalam proses penyelesaian perkara.
Adapun dasar filosofi penyebutan rumah dikarenakan rumah merupakan suatu tempat yang mampu memberikan rasa aman, nyaman dan tempat semua orang kembali untuk berkumpul dan mencari solusi dari permasalahan yang disebabkan adanya perkara pidana ringan sehingga dapat memulihkan kedamaian, harmoni dan keseimbangan di dalam masyarakat. Oleh karena itu nama ruang tersebut diberi nama Rumah Restorative Justice (Rumah RJ).
"Perlu Bapak-Ibu ketahui mengapa saya namakan rumah RJ bukan kampung RJ, karena menurut saya, kampung RJ akan terikat secara spesifik oleh wilayah artinya kearifan dan nilai nilai yang digali akan dibatasi oleh wilayah kampung itu saja, sedangkan rumah RJ terkandung maksud tidak ditujukan pada masyarakat tertentu ataupun wilayah tertentu, rumah RJ harus dapat menggali dan menyerap nilai nilai dan kearifan yg tumbuh dan berkembang di masyarakat secara umum tidak terikat oleh wilayah atau lapisan masyarakat tertentu," ujar Burhanuddin.
Burhanuddin menyebut pembentukan Rumah RJ diharapkan dapat menjadi contoh untuk menghidupkan kembali peran para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat untuk bersama-sama dengan penegak hukum khususnya Jaksa dalam proses penegakan hukum yang berorientasikan pada keadilan substantif.
Simak juga video 'Jaksa Agung Sebut Restorative Justice Baru Menyasar Masyarakat Kecil':
Di samping itu, pembentukan Rumah RJ diharapkan menjadi suatu terobosan yang tepat karena dalam hal ini akan menjadi sarana penyelesaian perkara di luar persidangan sebagai solusi alternatif memecahkan permasalahan penegakan hukum tertentu yang belum dapat memulihkan kedamaian dan harmoni dalam masyarakat seperti sebelum terjadinya tindak pidana.
Selanjutnya, Jaksa Agung mengatakan nantinya terdapat 31 rumah Restorative Justice yang akan di-launching. Ia berharap Rumah RJ ini dapat menjadi pilot project yang nantinya dapat ditiru dan dikembangkan di wilayah lain. Dengan kehadiran Rumah RJ ini, Jaksa Agung berharap dapat menjadi rujukan penegak hukum untuk mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses penyelesaian perkara.
"Selain itu, Rumah RJ juga saya harapkan dapat menjadi sarana bagi masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman secara komprehensif tentang manfaat dari penyelesaian tindak pidana melalui konsep restorative justice," ujar Burhanuddin.
Burhanuddin berharap semangat membangun Rumah RJ, janganlah terjadi hanya pada saat acara peluncurannya saja. Oleh karena itu, Burhanuddin meminta para Kajati menghadirkan keadilan substantif pada masyarakat adalah kewajiban, tugas, dan tanggung jawab kejaksaan.
Sedangkan menghadirkan rumah RJ di tengah masyarakat adalah cara Kejaksaan mewujudkan keadilan substantif yang diharapkan oleh masyarakat. Ia menuturkan Rumah RJ adalah rumah kita bersama, rumah bagi para pencari keadilan, sehingga ia berpesan supaya rumah RJ dijaga, dirawat, dan tumbuh kembangkan eksistensinya, agar rumah RJ dapat terus berkontribusi dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
"Saya juga sangat berharap adanya dukungan penuh dari bapak-ibu gubernur, bupati, dan wali kota, serta tentunya Bapak-Ibu Forkompimda, karena kami sangat menyadari dukungan penuh bapak ibu sekalian sangat berarti dalam percepatan upaya mewujudkan kesejahteraan hukum bagi masyarakat," ujarnya.
Berpijak dari tujuan dan manfaat dari dibentuknya Rumah RJ ini, Jaksa Agung meminta Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum membuat pola pengawasan dan melakukan monitoring guna memastikan Rumah RJ berjalan sebagaimana maksud dan tujuannya serta manfaatnya dapat dirasakan bagi masyarakat para pencari keadilan.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Dr Fadil Zumhana menyampaikan selama dibelakukannya Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Kejaksaan RI telah menyelesaikan 821 perkara di seluruh Indonesia melalui keadilan restoratif.
"Untuk menghadirkan keadilan di tengah masyarakat, maka perlu kiranya dibuatkan ruang atau tempat penyelesaian masalah dengan konsep perdamaian melalui musyawarah mufakat sebelum perkaranya masuk ke ranah penegak hukum," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Fadil Zumhana.
Adapun tujuan pembuatan rumah restorative justice ini sebagai tempat dalam menyelesaikan segala permasalahan di masyarakat; kehadiran Rumah Restorative Justice dinilai mampu menggali kearifan lokal dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Selain itu, Rumah Restorative Justice sebagai tempat musyawarah mufakat telah membuka harapan untuk menciptakan keharmonisan dan kedamaian dalam masyarakat.
Badiklat Kejagung Terima Sertifikat ISO 9001:2015
Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI kembali menerima Sertifikat ISO 9001:2015. Sertifikat ISO 9001:2015 tersebut pertama kali diperoleh oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI pada 2015.
Adapun Sertifikat ISO 9001:2015 pada tahun 2022 ini merupakan keberhasilan Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI dalam mempertahankan komitmen dalam mengimplementasikan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2015 pada seluruh proses bisnis pelaksanaan tugas fungsi secara konsisten dan berkelanjutan.
"Demi tercapainya tujuan agar selaras dengan sistem reformasi birokrasi saat ini, ISO 9001:2015 merupakan bagian persyaratan penting sehingga menjadikan Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI mencapai standar pelayanan prima dalam penyelenggaraan diklat yang profesional, inovatif, dan berintegritas," kata Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana.