21 Content Creator Minta MK Hapus Pasal Pencemaran Nama Baik di UU ITE

21 Content Creator Minta MK Hapus Pasal Pencemaran Nama Baik di UU ITE

Andi Saputra - detikNews
Senin, 07 Mar 2022 15:57 WIB
Poster
Ilustrasi media sosial. (Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Sebanyak 21 content creator menggugat UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka yang bekerja di voicedlaw.id itu berharap MK menghapus pasal pencemaran nama baik di UU ITE.

Pasal yang diuji adalah Pasal 27 (3) yang berbunyi:

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

dan Pasal 28 ayat 2 yang menyatakan:

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

ADVERTISEMENT

"Menyatakan Pasal 27 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 27 ayat (3) serta Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian permohonan pemohon yang tertuang dalam berkas sebagaimana dilansir website MK, Senin (7/3/2022).

Menurut pemohon, mereka telah dirugikan oleh penormaan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang telah menimbulkan ketidakpastian, kekaburan, dan ketidakjelasan hukum baik secara normatif maupun implementatif. Jadi melanggar atau mengancam hak konstitusional para pemohon sebagai content creator.

"Dalam membuat dan membagikan ide, gagasan, pendapat, pemikiran, kritik, dan/atau saran mengenai isu-isu atau fenomena-fenomena hukum tertentu melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi melalui media atau platform digital," bebernya.

Kerugian konstitusional yang potensial terjadi kepada Para Pemohon disebabkan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang sangat sumir dan tidak jelas batasannya terkait dengan kategori 'penghinaan atau pencemaran nama baik' dan frasa 'menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu...' yang bersifat sangat subjektif terhadap individu yang dituju dan mengingat masyarakat Indonesia yang heterogen dengan kemajemukan suku, bangsa, agama, budaya, adat, golongan, ras, dan sebagainya. Hal ini dibuktikan dengan berbagai pelaporan dan korban lintas kalangan, misalnya saja beberapa kasus yang memperoleh perhatian publik, di antaranya:

1. Kasus Prita Mulyasari yang dipidana 6 tahun penjara karena terbukti melanggar pasal Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), setelah ia mengirimkan surat elektronik yang berisi ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan disalah satu rumah sakit.

2. Kasus Buni Yani yang dipidana 1,5 tahun penjara setelah dinyatakan terbukti melanggar Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dengan melakukan ujaran kebencian dan mengedit isi video pidato Mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.

3. Kasus Ahmad Dhani yang dipidana 1,5 tahun penjara karena terbukti melanggar Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.

4. Kasus I Gede Ari Astina alias Jerinx yang dilaporkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali dengan tuduhan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik terkait postingan 'IDI kacung WHO'. Oleh karena itu, ia disangkakan melanggar Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27 Ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE.

"Multifasir dan Ambiguitas Ketentuan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) dan supremasi hukum berdasarkan konstitusi (nomokrasi konsitusional) sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945," urai pemohon.

Dengan pemberlakuan Pasal 27 ayat (3) dan 28 ayat (2) UU ITE menjadi penghalang dalam kebebasan berpendapat yang menjadikan indeks demokrasi menurun. Dengan berlakunya pasal a quo yang multitafsir akan berdampak kepada rakyat yang ketakutan dijerat hukum UU ITE dalam menggunakan dan menikmati hak kebebasan berpendapat mereka.

"Selain itu, ketentuan a quo dapat pula dijadikan alat untuk membungkam pemikiran-pemikiran kritis rakyat yang dapat mencederai hak kebebasan berpendapat dan prinsip-prinsip negara demokrasi," tutur pemohon.

Permasalahan hukum yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) adalah mengenai kepastian hukum dari unsur-unsur dari tindakan pencemaran nama baik yang dilakukan di media sosial. Hal demikian disebabkan karena tidak adanya tolok ukur yang baku ataupun unsur-unsur yang jelas terkait frasa 'penyerangan kehormatan atau nama baik seseorang' dan frasa 'menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan'.

"Pada dasarnya pencemaran nama baik yang dilakukan di media sosial tidak memiliki definisi, karakteristik, atau parameter yang jelas. UU ITE ataupun KUHPidana yang mengatur terkait pencemaran nama baik, tidak menjelaskan definisi dari pencemaran nama baik di media sosial atau media elektronik," terang pemohon.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengandung muatan pasal karet. Di mana frasa 'tanpa hak', 'mendistribusikan', 'mentransmisikan', dan 'membuat dapat diaksesnya' tidak dijelaskan secara terperinci sehingga menimbulkan multitafsir dan berpotensi melanggar hak kebebasan berpendapat. Sementara itu, Pasal 28 ayat (2) UU ITE mengandung muatan pasal karet.

"Di mana frasa 'menimbulkan rasa kebencian' dan 'antargolongan' masih memerlukan penjelasan lebih lanjut guna mencegah pelanggaran terkait hak kebebasan berpendapat di media sosial dan tidak menimbulkan makna multitafsir yang dapat menjerat siapa saja," beber pemohon.

Menurut pemohon, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration on Human Rights). Dimana Kebebasan berpendapat merupakan salah satu HAM yang dijunjung tinggi. Terlihat dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration on Human Rights) yang menyatakan bahwa:

"Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan- keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas".

"Meskipun UUD NRI Tahun 1945 serta berbagai peraturan Internasional telah menjamin bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak bagi setiap Manusia, tetapi kehadiran serta dipertahankannya Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE telah memberikan batasan bagi setiap orang untuk mengkritik beserta mengeluarkan pendapatnya di Interconnected Network (Internet) terutama dalam platform media sosial," tegas pemohon.

Menurut pemohon, fenomena diskriminasi dan kriminalisasi warga negara dalam pemanfaatan teknologi sebagai sarana mengemukakan pendapat dan pemikiran secara membabi buta telah mengakibatkan hilangnya tanggung jawab negara dalam upaya perlindungan hak asasi manusia. Hal itu sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 28I ayat (2) dan (4) UUD NRI Tahun 1945.

"Bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kemerdekaan dapat mengeluarkan hasil pikiran dalam bentuk pendapat, pandangan, perasaan, atau kehendak, dengan kemauan sendiri, tanpa paksaan, dan tanpa mendapat tekanan dari orang lain. Adapun hasil pikiran tersebut bisa disampaikan dengan cara lisan (berbicara), tulisan (artikel atau makalah), dan sebagainya," cetus pemohon.

Permohonan itu didaftarkan siang ini dan masih diproses di kepaniteraan MK.

Lihat juga video 'Seskab Curhat Pemerintah Kerap Dianggap Represif Karena UU ITE':

[Gambas:Video 20detik]



(asp/isa)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads