Ramai soal Keppres, Bagaimana Peran Soeharto Saat Serangan Umum 1 Maret?

Ramai soal Keppres, Bagaimana Peran Soeharto Saat Serangan Umum 1 Maret?

Rakhmad Hidayatulloh Permana - detikNews
Kamis, 03 Mar 2022 13:34 WIB
Potret Presiden Soeharto saat menjabat sebagai presiden pada 1970an.
Foto: Soeharto (AFP)
Jakarta -

Keppres 2/2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara ramai disorot lantaran tidak mencantumkan peran Presiden ke-2 Soeharto saat Serangan Umum 1 Maret 1949. Namun, nama dan peran Soeharto disebut ada dalam naskah akademik.

Lalu, apa sebenarnya peran Soeharto dalam peristiwa tersebut?

Seperti dikutip dari laman Kemendikbud, serangan umum 1 Maret 1949 dimulai saat Agresi Militer II Belanda melemahkan kedudukan pemerintah RI di dunia internasional, karena Belanda mengumumkan bahwa RI sudah hancur. Walaupun presiden, wakil presiden, dan anggota kabinet lainnya tertawan, kekuatan militer masih berupaya menyusun strategi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT

Panglima Besar Jenderal Sudirman memimpin Operasi Gerilya Rakyat Semesta. Pasukan yang terdiri atas pasukan organik dan non-organik, termasuk laskar dan rakyat bersenjata, menyingkir ke bukit, lembah, dan pelosok untuk menyusun rencana penyerangan balik.

Panglima Besar Jenderal Sudirman memberikan instruksi melakukan serangan balik untuk membuktikan bahwa TNI masih ada dan kuat. Rapat bersama antara petinggi militer dan pimpinan pemerintah sipil setempat memutuskan untuk melakukan serangan besar-besaran terhadap Kota Yogyakarta pada 1 Maret 1949. Diketahui saat itu, Soeharto merupakan anak buah Jenderal Sudirman.

Bunyi sirene pukul 06.00 tanda jam malam berakhir menandakan dimulainya serangan. Pasukan TNI serentak menyerang pasukan Belanda dari segala penjuru kota. Dalam waktu singkat, Belanda berhasil dipukul mundur dan meninggalkan pos-pos militernya. Beberapa persenjataan yang dimiliki Belanda direbut oleh tentara gerilya. Tepat pukul 12 siang, perintah untuk mengosongkan Kota Yogya dan kembali menuju pangkalan gerilya.

Dalam tempo kurang-lebih dua bulan sejak Ibu Kota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda, TNI berhasil menguasai Yogyakarta dalam waktu singkat. Menjadi bukti kepada dunia internasional bahwa TNI dan rakyatnya masih ada.

Peran Soeharto

Dalam buku-buku sejarah yang terbit di era Orde Baru, Jenderal Soeharto ditulis sebagai pemimpin komando serangan pada tanggal 1 Maret di Yogyakarta mengikuti salah satu pasukan. Namun, seusai reformasi, keabsahan informasi sejarah ini kembali diperdebatkan.

Soeharto disebut bukanlah aktor utama dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Sebagai Komandan Wehrkreise III berpangkat letnan kolonel, Soeharto disebut hanya pelaksana lapangan.

Mantan Direktur Direktorat Sejarah Departemen Pendidikan sekaligus sejarawan Anhar Gonggong mengaku punya dokumen yang membuktikan Letkol Soeharto bukan inisiator serangan itu. Dokumen itu berupa surat perintah kepada Soeharto untuk melakukan serangan besar-besaran ke Ibu Kota Yogyakarta yang ditandatangani oleh Gubernur Militer Jawa Tengah Kolonel Bambang Sugeng.

"Serangan Umum 1 Maret 1946 Soeharto punya peranan, tetapi kan masih ada atasan di atasnya. Artinya, peranan dia bukan inisiator, jabatan dia cuma Komandan Wehrkreis (wilayah perang) dengan wilayah terbatas," papar Anhar kepada detikcom, Kamis (2/3/2018).

Sementara itu, sejarawan Asvi Warman Adam merujuk biografi Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Tahta Untuk Rakyat. Buku yang dihimpun oleh Atmakusumah, Mohamad Roem, Mochtar Lubis, Kustiniyati Mochtar, S. Maimoen, itu menyebutkan inisiator serangan itu adalah Sri Sultan. "Dia juga memberikan bantuan dan perlindungan kepada para gerilyawan," ujar Asvi.

Simak juga 'Sultan HB X Ungkap Fakta: Serangan Umum Jogja Harusnya 28 Februari':

[Gambas:Video 20detik]



Cerita Anak Buah Soeharto

Keterangan berbeda terkait peran Soeharto juga disampaikan oleh Abdul Latief, yang merupakan anak buah Soeharto saat Serangan Umum 1 Maret 1949. Latief mengungkapkan kesaksiannya dalam tulisan berjudul 'Laporan tentang Dewan Jenderal kepada Jenderal Soeharto' yang dimuat di laman penerbit HastaMitra.

"Dan beliau sendiri mengikuti pasukan saya dengan menempati markas Komando Kie saya, yang terletak di daerah Kuncen atau Desa Sudagaran, yang hanya terletak 500 m, dari batas Kota Yogyakarta (daerah Demakijo). Setelah saya dapat lolos dari kepungan tentara Belanda yang sedang mengadakan counter offensive, dan saya dapat mundur kembali keluar kota dengan meninggalkan korban 12 luka-luka, 2 gugur, dan 50 orang pemuda-pemuda gerilya kota, di bawah pimpinan saya," ungkap Latief.

Latief mengungkap, saat terjadinya serangan, Soeharto sedang menikmati soto babat di Markas Gerilya. Soeharto saat itu masih memerintahkan aksi penggempuran terhadap pasukan Belanda.

"Kira-kira pada jam 12 siang hari bertemulah saya dengan Komandan Wehrkreise Letkol Soeharto di markas, rumah yang saya tempati sebagai Markas Gerilya, waktu itu beliau sedang menikmati makan soto babat bersama-sama pengawal dan ajudannya. Kami segera melaporkan tugas kewajiban saya. Kemudian beliau masih memerintahkan lagi supaya menggempur pasukan Belanda yang sedang berada di Kuburan Kuncen, Yogyakarta," ungkapnya.

Latief mengaku perlu meluruskan informasi bersejarah ini. Sebab, menurutnya, di buku-buku sejarah Orde Baru peran Soeharto hanya ditulis memimpin pasukan dalam Serangan Umum 1 Maret.

Polemik Keppres Hari Penegakan Kedaulatan Negara

Dilansir dari situs Sekretariat Negara, Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) nomor 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, resmi diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Keppres tersebut mengatur terkait Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

Pada diktum kesatu dan kedua Keppres tersebut dinyatakan Hari Penegakan Kedaulatan Negara jatuh pada 1 Maret dan bukan merupakan hari libur. Dalam Keppres tersebut juga dijelaskan alasan 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

Pada poin c pertimbangan Keppres terdapat pembahasan berkaitan dengan sejarah serangan umum 1 Maret 1949. Pada poin itu memang tidak tercantum nama Soeharto.

"Bahwa peristiwa Serangan Umum I Maret 1949 yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan didukung oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya, merupakan bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang mampu menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Negara Indonesia di dunia internasional serta telah berhasil menyatukan kembali kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia," bunyi poin c pertimbangan Keppres Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

Mahfud Md Beri Penjelasan

Hal tersebut pun lantas ramai dibahas oleh publik. Menko Polhukam Mahfud Md pun buka suara terkait persoalan tersebut. Dia menyampaikan Keppres tersebut tidak menghilangkan nama Soeharto dari sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949.

"Kepres tersebut bukan buku sejarah tapi penetapan atas 1 titik krusial sejarah. Kepres tersebut tidak menghilangkan nama Soeharto dan lain-lain dalam SU 1 Maret 1949," kata Mahfud seperti dikutip detikcom dari akun Twitternya @mohmahfudmd, Kamis (3/3/2022). Cuitan Mahfud Md telah disesuaikan dengan ejaan yang berlaku.

Mahfud memastikan nama Soeharto tetap disebutkan berkaitan dengan peristiwa serangan umum 1 Maret 1949. Menurutnya nama Soeharto tercantum dalam naskah akademik Keppres.

"Nama dan peran Soeharto disebutkan di Naskah Akademik Kepres yang sumbernya komprehensif," ucap Mahfud.

"Di dalam konsiderans ditulis nama HB IX, Soekarno, Hatta, Sudirman sebagai penggagas dan penggerak. Peran Soeharto, Nasution, dan lain-lain ditulis lengkap di Naskah Akademik. Sama dengan naskah Proklamasi 1945, hanya menyebut Soekarno-Hatta dari puluhan founding parents lainnya," tambahnya.

Halaman 2 dari 3
(rdp/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads