Sanksi dari sejumlah negara hingga lembaga dunia setelah Rusia menyerang Ukraina disorot dan dibanding-bandingkan dengan sikap terhadap Israel yang berkonflik dengan Palestina. Ada sejumlah faktor yang dinilai jadi pemicu beda sikap itu.
Sebagai informasi, Rusia melancarkan operasi militer terhadap Ukraina sejak Kamis (24/2/2022). Berbagai negara hingga lembaga dunia beramai-ramai mengutuk hingga menjatuhkan sanksi terhadap Rusia atas invasi ke Ukraina itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sanksi itu berupa penutupan akses penerbangan untuk maskapai Rusia, pembekuan aset perbankan, penolakan penayangan acara TV Rusia, hingga diskualifikasi terhadap tim Rusia dari ajang olahraga. Beragam sanksi untuk Rusia itu kemudian ramai dibanding-bandingkan pengguna media sosial.
Ada yang menganggap negara dan lembaga pemberi sanksi terhadap Rusia tidak melakukan hal serupa untuk Israel yang berkonflik dengan Palestina. Ketua Departemen Hubungan Internasional FISIP UI Asra Virgianita memberi penjelasan soal adanya perbedaan sikap terhadap Rusia dan Israel.
Asra awalnya menjelaskan, pada dasarnya, sikap dunia harus sama terkait negara yang berkonflik, yakni mengutamakan perdamaian. Semua konflik, menurutnya, memiliki derajat yang sama.
"Dalam pandangan saya, konflik, apa pun itu namanya, ada unsur kemanusiaan di situ yang harus diutamakan. Sebisa mungkin dihindarkan dan kita atau dunia harus berpihak pada perdamaian. Rusia-Ukraina, Palestina-Israel, Saudi-Yaman, semuanya derajatnya sama menurut saya," kata Asra kepada wartawan, Rabu (2/3/2022).
Simak Video 'Saat AS-NATO Sepakat Ogah Perang dengan Rusia di Ukraina':
Asra mengatakan faktor dasar kenapa Rusia vs Ukraina lebih disorot dunia ialah keterlibatan negara dengan kekuatan nuklir terbesar dalam konflik tersebut. Dia juga menyebut perbedaan sikap terhadap konflik Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina juga dipicu sikap Amerika Serikat (AS).
"Kalau soal heboh atau tidak, menurut saya, ini tidak lepas dari siapa yang berkonflik juga, Rusia dan Ukraina, melibatkan satu negara besar dengan kekuatan nuklir, di sisi yang lain ada NATO-AS yang juga mempunyai kekuatan besar yang 'siap' membantu Ukraina," ujarnya.
Selain itu, potensi perang Rusia vs Ukraina memicu perang dunia ketiga membuat sorotan hingga sanksi-sanksi segera dijatuhkan ke Rusia. Asra menilai hal itu menjadi penambah kehebohan dari konflik kedua negara tersebut.
"Setting-nya kan begitu ya. Belum lagi digadang-gadang atau prediksi-prediksi akan ada perang dunia ketiga. Konteks seperti ini yang menambah 'heboh' untuk konflik Rusia-Ukraina," ucapnya.
"Intinya, menurut saya, yang harus diserukan adalah perdamaiannya. Apa pun itu konfliknya. Aspek humanity-nya harus didahulukan," lanjut Asra.
Asra juga bicara adanya tarik-menarik kepentingan dalam sebuah konflik yang melibatkan dua negara, terutama sikap AS. Dia mengatakan tidak tertutup kemungkinan AS menjadi pemicu bedanya sikap dunia atas konflik negara yang terjadi.
"Dalam hubungan internasional, ada tarik-menarik kepentingan di situ. Tarik-menarik kepentingan sangat bergantung pada siapa yang terlibat. Dalam konteks Israel-Palestina, kita tidak bisa menutup mata bagaimana AS mendukung Israel, negara besar di situ. Bagaimana kemudian lobi kelompok Israel sangat kuat di parlemen AS. Faktor kekuatan negara yang berkonflik tentu berpengaruh atas daya tawarnya, baik di level bilateral, regional, dan global," tuturnya.