Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat (Rerie) menekankan pentingnya merefleksikan nilai-nilai warisan para pendahulu bangsa. Sehingga nilai tersebut bisa diimplementasikan dalam tindakan dan kehidupan masyarakat sehari-hari.
"Mengenal diri sebagai bagian dari Indonesia saja tidak cukup. Dibutuhkan transformasi terus menerus sejalan dengan putaran waktu. Upaya mengimplementasikan setiap nilai kebangsaan dalam perilaku sebagai wujud mengisi kemerdekaan sekaligus memperkokoh persatuan," kata Rerie dalam keterangannya, Kamis (3/3/2022).
Hal ini dijelaskan saat membuka diskusi daring bertema Menggali Nilai Kemerdekaan, Keberagaman dan Persatuan Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (3/2) kemarin.
Menurut Rerie, kesadaran akan keberagaman sudah ada sejak zaman dahulu. Mengingat Indonesia adalah negara besar yang terdiri dari 17.000 pulau, dengan beragam suku-bangsa, bahasa, agama dan kepercayaan serta adat istiadat yang melekat. Hal ini mendorong semangat nasionalisme oleh sekelompok pemuda yang kemudian bersumpah demi persatuan dan kesatuan dalam Sumpah Pemuda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Paradoks kehidupan modern itu, harus disikapi dengan memperkuat pemahaman kita sebagai bagian dari Indonesia yang beragam," jelas dia.
"Dalam realitas keberagaman, kesadaran akan kesatuan harus menjadi sebuah keniscayaan," imbuhnya.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mengatakan kesadaran akan pentingnya persatuan harus menjadi landasan untuk menanam dan mengimplementasikan nilai-nilai kebangsaan. Karena keberagaman memperkaya cara hidup berbangsa dan bernegara.
Sementara itu, Direktur Dayalima Abisatya, yang merupakan salah satu penggagas Nenilai Meike Malaon, mengungkapkan hasil survei pihaknya menunjukkan mayoritas masyarakat mengharapkan nilai-nilai yang mengarah pada kepentingan bersama, seperti adil dan keadilan, keadilan sosial, hak asasi manusia, gotong-royong dan demokrasi. Adapun survei tersebut dilaksanakan pada 2020 terhadap 50.452 responden.
Untuk diketahui, Nenilai merupakan sebuah gerakan inisiatif untuk membangun Indonesia maju dan dewasa yang digagas oleh Bappenas, Indika Energy, Dayalima Abisatya, Pantarei dan Stoik Trisula.
Kendati demikian, Mieke menyebut nilai-nilai yang dirasakan saat ini bukan seperti apa yang diharapkan. Seperti birokrasi yang berbelit-belit, korupsi dan sejumlah nilai yang memicu energi negatif di masyarakat.
Temuan tersebut, menurut Mieke, harus menjadi perhatian bersama, agar nilai-nilai yang diharapkan masyarakat dapat direalisasikan.
Sementara itu, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Sunanto mengungkapkan berdirinya Indonesia banyak diwarnai dengan sikap legowo dari para pendiri bangsa. Khususnya saat menentukan nilai-nilai yang menjadi dasar pembangunan bangsa ketika menetapkan ideologi negara.
Namun Sunanto menyayangkan kondisi keberagaman yang saat ini dimiliki seringkali dibenturkan pada aktivitas politik, terutama saat menjelang agenda politik lima tahunan. Sehingga setiap lima tahun pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai keberagaman harus dimulai dari nol lagi.
"Kita masih banyak pekerjaan rumah untuk merealisasikan Indonesia Emas 2045, karena masih banyak kegagapan yang terjadi dalam menghadapi berbagai perbedaan," ujarnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Willy Aditya mengungkapkan Indonesia terbentuk dari kumpulan bangsa-bangsa yang menjadi satu negara. Kondisi tersebut dinilainya membuat RI sangat rentan, sehingga tidak mudah menghadapi realita yang ada seperti saat ini.
Sementara itu, Founder & CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali mengungkapkan berdasarkan hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik pada 2020, populasi penduduk Indonesia saat ini didominasi oleh generasi muda, yakni gen Z dan milenial. Hal ini bisa memperbesar gap antargenerasi terhadap sejumlah isu.
"Akibatnya, keberagaman yang kita miliki saat ini bukan hanya dari sisi etnik dan agama, tetapi juga gap antargenerasi," tambah Hasanuddin.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, dia pun menyarankan untuk dimulai dari sektor pendidikan dengan menghidupkan kembali forum-forum diskusi lintas keilmuan. Serta menghadirkan literasi keagamaan yang lebih beragam.
Selain itu, kata dia, manajemen lembaga pendidikan harus menunjukkan kepedulian dan keberpihakan dalam mengatasi intoleransi.
Di sisi lain, Anggota Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar mengungkapkan indeks kemajuan sosial Indonesia terhadap toleransi saat ini berada di angka 35,47% dari skala 0-100. Adapun skala 0% untuk tidak toleransi dan 100% untuk sangat toleransi.
"Kondisi yang kita hadapi saat ini masih membutuhkan upaya ekstra dari semua pihak dengan berkolaborasi untuk melahirkan kembali nilai-nilai toleransi, di tengah perkembangan teknologi informasi dan media yang sangat complicated," pungkasnya.
(ncm/ega)