Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej berbicara tentang RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Salah satunya terkait delik perbudakan seks dan kawin paksa, yang menjadi delik pidana.
"Berikut yang juga menarik, DIM pemerintah menambah dua. Pelecehan seksual nonfisik, penyiksaan seksual, ditambah perkawinan paksa dan perbudakan seksual," kata Eddy Hiariej kepada wartawan di kantornya, Jalan HR Rasuna Said, Setiabudi, Jaksel, Selasa (22/2/2022).
"Perbudakan seksual lebih luas dari tindak pidana perdagangan orang (TPPO), karena motifnya pasti ekonomi. Lebih luas karena orang yang kemudian tidak dijerat dengan perdebatan seksual," sambung Eddy Hiariej.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengatakan usulan itu diajukan oleh jaksa dan kepolisian yang menangani kekerasan seksual. Dia menyebut usulan itu berasal dari pengalaman para penegak hukum menangani berbagai kasus kekerasan seksual.
"Jadi sangat bersyukur teman-teman kepolisian menurunkan personel yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki pengalaman di lapangan. Kita brainstorming, berarti harus dipermudah, sesegera mungkin untuk perintahkan Kominfo take down konten porno," ujar Eddy Hiariej.
Eddy Hiariej juga menyebut RUU TPKS mengatur hukum acara bagaimana kalau ada saksi tidak bertemu dengan pelaku. RUU TPKS itu, katanya, mengatur seorang saksi karena alasan traumatik lalu boleh bersaksi dengan perekaman yang punya kekuatan pembuktian.
"Usulan Pasal 27 dari DPR mengenai pelecehan seksual dengan dunia maya, kita hapus tapi menambahkan pasal semua perbuatan kekerasan seksual yang melalui dunia maya merupakan unsur pemberat pidana," ujar Eddy Hiariej.
Eddy Hiariej menyebut pelaku kekerasan seksual minimal dihukum 4 tahun penjara. Kalau ada unsur pemberat, menjadi 5 tahun 4 bulan penjara.
"Di dalam penjelasannya ada karena relasi kuasa, bos dan sekretaris dan sering terjadi karena budaya patriarki dalam RUU TPKS. Juga dosen dengan mahasiswa," ujarnya.
"Bahkan penyiksaan seksual lebih luas dibandingkan dalam pengadilan HAM. Mengenai kejahatan seksual, termasuk child grooming, dan lain-lain," sambungnya.
Eddy menjamin RUU TPKS tidak bertabrakan dengan UU yang telah ada. Dia mengatakan RUU TPKS bakal melengkapi undang-undang yang telah ada.
"UU TPKS tidak akan bertabrakan dengan UU lainnya. Kita sandingkan dengan berbagai aturan baik dengan yang ada adalah RUU KUHP. Ada TPPO, Pencegahan Kekerasan Rumah Tangga, sehingga tidak mungkin tumpang tindih, kita sandingkan UU existing, UU Perlindungan Anak. Ditambah RUU KUHP. Semua dimasukkan dalam RUU TPKS, jadi tidak mungkin tumpang tindih. Dia lebih titik beratkan pada hukum acara," terang Eddy.
Lalu, apakah hubungan seksual atas persetujuan korban diperbolehkan di RUU TPKS seperti di Permendikbud 30/2021?
"Tidak ada. Nggak ada itu," kata Eddy.