Akhir-akhir ini banyak ulama berdakwah melalui Medsos, ada yang memberikan kajian di masjid - masjid namun bisa di dengarkan melalui link zoom. Kondisi pandemi ini yang memasuki tahun ke 3 memberikan hikmah menjadikan belajar dan mendengarkan kajian agama lebih mudah. Ada beberapa ulama yang dapat memukau para pendengarnya/masyarakat, namun setelah mengetahui gaya hidup ulama tersebut yang kurang sesuai dengan tuntunan Islam, maka mereka secara perlahan meninggalkannya.
Masyarakat saat ini menantikan sosok Ulama yang gaya hidupnya sederhana dan Islami, di samping yang berani berkorban untuk mencapai keridha'an Allah Swt. Ulama seperti yang telah digambarkan ciri-cirinya oleh Fethullah Gulen sebagai berikut :
1. Ikhlas, dalam menjalankan kehidupannya yang dinaungi perjuangan tugas suci kepada masyarakat, tidak berharap apapun apalagi kemewahan. Ia takut akan terperosok di bawah kehinaan hidup yang bergantung pada hasil pemberian orang lain. Oleh karena itu tutur kata dan prilaku mereka sanggup menjadi suri tauladan bagi masyarakat Islam sepanjang masa.
2. Tawadhu', sikap ini menjadikan seorang Ulama mudah bergaul dan diterima di masyarakat. Orang mempunyai sifat tawadhu' akan risih jika ia mendapati pujian, karena sadar bahwa segala pujian hanya milik-Nya. Pujian ibarat makanan yang melenakan dan melemahkan, maka hindarilah pujian itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada beberapa Ulama yang masuk kategori di atas seperti, Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan al- Tsauri dan al-Fudhail ibn 'Iyadh. Dikisahkan bahwa ketika Imam Sufyan al-Tsauri terlihat sangat sedih, maka ia ditanya oleh seorang muridnya, " Mengapa Anda terlihat begitu sedih ?" Jawab Sufyan, " Bagaimana kami tidak merasa sedih, jika saat ini setiap guru diberi kedudukan yang tinggi oleh para penguasa?"
Diriwayatkan pula, bahwa Imam Sufyan al-Tsauri pernah menulis surat kepada Amirul Mukminin Harun al-Rasyid yang waktu itu baru diangkat sebagai Khalifah 'Abbasiyah. Sebenarnya surat beliau merupakan balasan dari surat Amirul Mukminin yang berbunyi, " Wahai Abu 'Abdullah, tidak seorang pun dari sahabat dekatku dan juga para sahabat dekatmu yang tidak datang kepadaku untuk menyampaikan ucapan selamat kepadaku atas terpilihnya aku sebagai Khalifah 'Abbasiyah, kecuali engkau. Padahal aku memberi uang sangat banyak sebagai hadiah bagi mereka. Aku masih menunggu kedatanganmu di istanaku, akan tetapi hingga kini engkau belum datang juga kepadaku."
Ketika Sufyan al-Tsauri menerima surat tersebut dan setelah membaca, maka ia menulis jawabannya, " Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, surat ini dari seorang hamba yang banyak melakukan dosa, Sufyan bin Sa'id bin al-Mundzir al-Tsauri. Surat ini untuk seorang hamba yang terlena oleh impiannya, Harun al-Rasyid, seorang yang telah dicabut dari lubuk sanubarinya untuk bisa merasakan manisnya keimanan. Ketahuilah, bahwa suratmu menjadikan aku sebagai saksi kepadamu kalau engkau telah mengambil harta dari Baitul Mal milik kaum muslimin, kemudian engkau belanjakan di jalan yang tidak baik ( dilarang Allah ). Oleh karena itu, aku anjurkan kepadamu agar bersiap-siap untuk dimintai pertanggungan jawab oleh Allah di Hari Kiamat Kelak."
Ketika surat balasan itu tiba dan dibaca oleh Amirul Mukminin, maka Ia senantiasa membaca surat tersebut setiap selesei dari pelaksanaan shalat fardhu dengan selalu bercucuran air mata, sampai akhir usia menjemputnya.
Masa sekarang, adakah seorang rakyat ( Ulama, Profesional, Teknokrat maupun masyarakat biasa ) yang berani menulis surat kepada Kepala Penerintahan dengan nada yang tegas dan memberi nasihat kepadanya ? Tentu saja seorang Ulama sekelas Sufyan al-Tsauri berani menegur dan menasihati penguasa masih belum muncul. Ia selalu menegakkan semua kewajibannya baik yang fardhu maupun yang sunah. Sehingga ia berani menegaskan yang benar maupun yang salah kepada orang lain yang dianggap sahabat dekatnya, agar ia dapat menyelamatkan sahabat dekatnya dari siksa Allah Swt. dengan menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar.
Seorang penguasa mukmin tentu akan membuka diri, membuka hati dan menerima saran kritik untuk keselamatan dirinya sebagai pemimpin maupun kebaikan untuk negerinya dalam mencapai tujuan kemakmuran. Keberanian pemberi saran kebaikan itu merupakan dorongan dari hati karena keimanannya. Maka selalu ingatlah firman-Nya pada surah al-Asr ayat 3 yang berbunyi, " Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran."
Semoga kita semua memahami dan menjalankan firman-Nya tersebut sesuai kadar dan kapasitas masing-masing
Aunur Rofiq
Sekretaris Majelis Pakar DPP PPP 2020-2025
Ketua Dewan Pembina HIPSI ( Himpunan Pengusaha Santri Indonesia)
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)