Solo - Dalam situasi serba tidak menentu, sepasang mempelai melangsungkan pernikahan. Padahal rumah orangtua mempelai perempuan, tempat dilangsungkan hajatan, hanya berjarak 4 km dari puncak Merapi yang terus mengeluarkan awan panas dan tidak jarang mengarah ke kampung tersebut. Minggu (14/5/2006) siang, Ngatmi warga Bakalan, Klakah, Selo, Boyolali, resmi menjadi pengantin. Dia dipersunting oleh Sunar, seorang pemuda yang juga berasal satu kampung dengannya. Acara tradisional Jawa
temu penganten dilaksanakan pada pukul 14.00 WIB dengan iringan rebana hadrah yang khidmat. Perhelatan pernikahan itu diadakan di rumah Suyitno, orangtua Ngatmi. Para tetangga, laki-laki maupun perempuan, memenuhi rumah Suyitno yang tidak seberapa luas. Sebagian besar tamu lelaki memilih duduk-duduk atau berdiri di pelataran rumah sambil terus mengamati puncak Merapi. Sesekali mereka tampak tertawa atau bersenda-gurau namun tidak dipungkiri ada rasa khawatir yang tergurat di wajah mereka. Sejak dinihari tadi, awan panas memang sering muncul dengan volume besar dan kebetulan mengarah selalu ke barat laut, termasuk ke arah perkampungan mereka. Dari perkampungan tersebut, jika sedang cuaca cerah, puncak Merapi memang tempak jelas dan tidak terhalang apa pun. "Kami yakin
wedhus gembel (istilah warga Merapi untuk menyebut awan panas -- red) tidak akan turun ke pemukiman kami, karena daerah puncak dikelilingi kabut tebal," ujar mereka. Sejak pagi hingga sore, kabut tebal memang tak henti-hentinya menyelimuti puncak Merapi. Sesekali dari tengah kabut muncul gulungan awan berwarna coklat kehitaman cukup besar, yang tak lain adalah awan panas. Meskipun terus mengarah ke barat laut, namun awan itu selalu membumbung ke atas terlebih dahulu. Tidak jarang awan panas itu melintasi perkampungan mereka, bahkan sesekali terlihat seperti berhenti dan memayungi. Akibatnya hujan abu tipis pun tidak terhindarkan. "Kalau situasi seperti ini, di puncak sana hujan abu sudah sangat tebal," papar warga kepada wartawan di tengah perhelatan. Kepala dusun setempat, Siswo Saiman, juga tidak kurang paniknya. Seringkali dia keluar masuk untuk menyaksikan sendiri perkembangan Merapi. Dia mengatakan, sejak ditetapkan menjadi status 'awas' pihaknya telah memberi imbauan bahwa perhelatan boleh dilakukan namun dalam kondisi waspada penuh. "Kami tidak boleh semata-mata melarang karena acara pernikahan ini sudah direncanakan jauh-jauh hari. Namun kalau kabut di puncak menghilang, saya akan segera memerintahkan warga untuk bubar dan menyelamatkan diri. Karena itu tandanya awan panas bisa meluncur turun ke pemukiman," kata dia. Sedangkan kedua mempelai, tetap tenang duduk bersanding di pelaminan. Ngatmi sesekali tersipu malu mendengar godaan para pemudi kampung sebayanya. Mungkin benar juga kata orang bijak; 'Cinta dan keraguan tak pernah berjalan beriringan. Sebab cinta selalu menantang kematian.'
(nrl/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini