Kontroversi status hukum wayang dalam konteks fiqh ramai jadi perbincangan. Diberitakan, ini semua berawal dari pengajian di sebuah masjid di bilangan Jakarta Selatan. Seorang jemaah 'iseng' menanyakan status hukum syar'i aset Nusantara yang sudah diakui Unesco sebagai warisan budaya dunia itu. Kenapa disebut iseng? Karena materi pertanyaan bukan hal penting, tidak elementer, jauh dari perkara ushul agama.
Bagi kalangan ini, semua urusan ditarik ke konteks akidah. Bukan hanya haram secara fikih tetapi sudah melampaui itu: keluar dari Islam. Apa itu maksudnya? Ya, kafir. Ini vonis maksimal. Menggugurkan semua ibadah. Terlebih, bagi kaum ini, dan semua yang semodel dengannya, setiap tanya mesti disiapkan jawaban. Dan semua jawaban berstatus fatwa. Oleh jemaahnya, fatwa para ustaz dari aliran ini wajib diamplifikasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Merasa harus menjaga ajaran guru, maka menyebarkannya adalah kewajiban, dan diyakini sebagai tanggung jawab profetik. Merasa wajib menjaga kesucian fatwa guru, jemaah lalu mengamalkan dalam wacana dan praktik, qaulan wa fi'lan, secara konsisten. Bagi mereka, 'matan' dan 'qaul' guru harus sama dengan aslinya. Di-copy paste seperti fotokopi. Persis. Berbeda dianggap menyimpang. Dan setiap penyimpangan adalah sesat.
Fiksasi Keyakinan
Anda tahulah di mana tempat pelaku kesesatan. Bagi pelaku kesesatan, mereka sudah menyediakan tempat paling buruk yang diciptakan Tuhan: neraka! Kalau bisa, mereka akan mencarikan bagian paling bawah dari neraka, yakni di keraknya. Memang varian ini sangat absurd. Mereka merasa telah menggiring segelintir umat masuk ke dalam surga, tapi di saat yang sama bersuka ria karena telah sukses melemparkan sebagian besar lainnya ke neraka.
Paham semacam ini oleh Sigmund Freud disebut 'fiksasi'. Dalam ilmu psikologi, fiksasi adalah berhentinya perkembangan suatu bagian dari diri seseorang, misalnya kepuasan sensual. Bagian itu tidak mengalami perkembangan, sejalan dengan bagian-bagian pribadi lainnya. Dengan demikian, akan tampak kemudian bahwa orang tersebut merasa dirinya telah dewasa dalam beragama kecuali dalam perkara kepuasan.
Dalam menghadapi kehidupannya, pribadi yang mengalami fiksasi akan dihadapkan pada suatu situasi menekan. Membuatnya frustrasi dan mengalami kecemasan yang teramat sangat. Kondisi itu pada gilirannya akan membuat orang tersebut merasa tidak sanggup untuk menghadapinya. Dengan keyakinan agama yang dimilikinya, itu akan membuat perkembangan normalnya terhenti untuk sementara atau selamanya.
***
Beberapa tahun lalu, Indonesia kedatangan seorang 'preacher' kelas dunia. Seorang dokter. Dielu-elukan bak seorang pencerah. Pemenang yang sukses menaklukkan hati ribuan orang karena klaim pemahamannya yang luas akan kitab suci agama tertentu. Masjid tetangga Penulis dapat kehormatan. Sosok yang terusir dari negaranya itu mengisi pengajian. Tak terhitung yang datang. Dalam bayangan peserta pengajian, lingkungan masjid sudah menjelma taman surga.
Saat berceramah, dia menyiapkan sesi tanya-jawab, sesi penaklukan hati, sesi penjungkirbalikan keyakinan seseorang akan kitab sucinya. Forum berubah menjadi medium pertobatan dari khurafat. Tawasul bidah. Salawat bidah. Ziarah kubur bidah. Tabarukan bidah. Semua bidah keluar dari Islam. Sungguh, di saat yang sama, ia telah mengeluarkan ratusan juta penganut akidah Asy'ariyah dari Islam! Alias mengislamkan dua tiga orang tapi mengkafirkan ratusan juta lainnya!
Teologi Takfiri
Sebenarnya, sudah sekian kali ustaz model ini terjebak dalam materi pengajiannya sendiri. Tergelincir di tengah-tengah jemaah yang 'disinari' oleh ilmunya. Bukankah ilmu, menurut Imam Syafi'i, adalah cahaya? Ke depan, kalau kelompok ini masih diberi 'space' menyebarkan ajarannya, wayang tidak akan menjadi yang terakhir. Pada waktunya, akan menyentuh hal-hal paling prinsip, termasuk masalah ketatanegaraan.
Tahun lalu, ada pernyataan viral setelah jemaah bertanya bagaimana jika seorang anak menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya karena terpaksa. Seperti sudah diduga. Bukan mengajari si anak agar tidak terpaksa, ia malah dengan enteng menyarankan untuk tidak usah ikut-ikutan menyanyi. Dalam sejumlah fatwanya tentang musibah di negeri ini, bukan saja tidak mengenakkan, tapi jawabannya sangat menyakiti hati.
Tsunami Aceh karena marak maksiat, gempa Yogyakarta akibat jauh dari agama, Hari Ibu adalah hari kristiani. Yang paling menyakitkan: fatwa bahwa orang tua Nabi adalah kafir dan penghuni neraka. Karena teologi takfiri yang dianut, ustaz tertentu dari kalangan ini ditolak di sejumlah daerah di Indonesia. Misalnya, Sidoarjo menolak. Sulawesi Barat menentang. Tegal membubarkan. Gresik geram. Misinya: mengislamkan orang Islam.
Paham 'takfiri' adalah sebutan bagi seorang muslim yang memvonis muslim lainnya (atau kadang juga mencakup penganut ajaran agama samawi lain) sebagai kafir dan murtad. Mengeluarkan manusia dari keimanannya kepada Tuhan. Persis paham 'tahrimi' yang memvonis sesuatu atau ibadah sebagai haram. Tuduhan itu sendiri disebut takfir, berasal dari kata kafir, kaum tidak beriman atau tidak murni Islamnya.
Tindakan menuduh orang lain sebagai kafir telah menjadi suatu bentuk penghinaan sektarian, yaitu seorang muslim menuduh muslim aliran lain sebagai kafir. Kekerasan yang berawal dari tuduhan mengkafirkan muslim lain kian marak dengan merebaknya ketegangan antara Sunni dan Syiah di Timur Tengah. Istilah ini kian terkenal secara global setelah wartawan BBC, Peter Taylor, menyebutkannya dalam serial televisi BBC pada 2005 bertajuk 'The New Al Qaeda'.
Semua dari Sini
Kasus wayang dan kasus-kasus lain yang serupa, semua penyebabnya berasal dari sini: penceramah yang hobi berfatwa dan jemaah yang banyak tanya. Apa saja ditanyakan dan apa saja dijadikan jawaban. Seakan setiap pengajian adalah forum menerbitkan fatwa. Situasi ini tercipta secara massif di Indonesia dalam dua dekade terakhir. Semua ustaz adalah lembaga yang bisa setiap saat memberi jalan keluar semua persoalan umat.
Sungguh berbeda dari para sahabat Nabi, tabi'in, dan ulama terdahulu. Imam Abdurrahman bin Abi Laila berkisah: "Aku mengikuti 120 sahabat Nabi dari kalangan Ansor. Ketika salah satu dari mereka ditanya tentang suatu masalah, ia tidak menjawab dan menganjurkan agar bertanya kepada sahabat lain. Sahabat yang ditunjuk melakukan hal yang sama hingga masalah kembali lagi pada sahabat pertama tadi."
Imam Syafi'i ditanya tentang suatu kasus, tapi beliau hanya diam. Ditanya kapan jawaban bisa diperoleh, Imam Syafi'i menjawab, "Hingga aku tahu bahwa yang lebih baik tidak menjawab atau menjawab." Imam al-Atsram, ulama hadis dan murid Imam Ahmad, berkisah: "Aku sering kali mendengar Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, 'lâ 'adrî, 'saya tidak tahu'. Padahal beliau paham pendapat-pendapat soal itu."
Imam al-Haitsam bin Jamil berkisah Imam Malik ditanya 48 perkara umat dan sebanyak 32 ia menjawab lâ 'adrî alias tidak tahu. "Siapa menjawab suatu pertanyaan, maka sebelum menjawab, sebaiknya ia menunjukkan dirinya di surga apa neraka." Beliau juga pernah marah besar terkait jawaban lâ 'adrî . Ada seorang yang menimpali, "Masak tidak tahu soal sepele ?" "Tidak ada yang sepele jika terkait ilmu!" kata Imam Malik.
Imam Abu Hanifah berkata, "Andai tidak khawatir Allah akan membinasakan ilmu, aku tidak akan pernah berfatwa." Imam Ahmad bin Hanbal atau dikenal dengan sebutan Imam Hambali, ahli hadis dan seorang dari empat imam mazhab, pernah ditanya 40 persoalan agama. Sang Imam hanya menjawab dua pertanyaan. Selebihnya, hanya ucapan laa adri'. Wallaahu A'lam. (*)
Ishaq Zubaedi Raqib
Penulis adalah pembaca kitab "Khozinatul Asror" di Pengajian Kitab Kuning Masjid An Nur, Pasirangin, Cileungsi, Bogor,-
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)
(erd/erd)