Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo menegaskan pentingnya penerapan prinsip ko-eksistensi (hidup bersama) serta konsep hak pengelola media dan hak cipta jurnalistik (publisher rights). Tidak hanya demi melindungi kepentingan pers nasional menghadapi dominasi platform global, seperti Google, Facebook, YouTube, Twitter, Alibaba, dan lainnya.
Bamsoet mengatakan ko-eksistensi dan publisher rights menjadi unsur penting membangun kedaulatan nasional di bidang digital. Sebab, media massa perlu mengingat memutuskan hubungan sama sekali dengan platform digital global, atau sikap menolak transformasi digital merupakan hal yang tidak realistis.
Dengan jumlah penduduk lebih dari 272,2 juta jiwa dan tingkat penetrasi internet sebesar 76,8 persen, Indonesia telah menjadi salah satu pasar digital terbesar di Asia. Berbagai pihak bisa saja menyalahgunakan kemampuan rekayasa algoritma dan analisis big data yang dimiliki berbagai platform digital global tersebut untuk merekam perilaku digital hingga menganalisis preferensi dan pandangan politik masyarakat.
"Dalam beberapa aspek, tindakan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai operasi intelijen dalam merongrong kedaulatan negara. Karenanya sangat penting bagi negara untuk untuk mendomestikasi berbagai platform digital global, serta melakukan penataan atas kedudukan dan operasi mereka di Indonesia," ujar Bamsoet dalam acara Konvensi Nasional Media Massa 2022 secara virtual, Senin (7/2/2022).
Konvensi Media Massa yang diadakan dalam rangkaian Peringatan Hari Pers Nasional 2022 itu turut dihadiri oleh Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh, Ketua PWI Pusat sekaligus Penanggungjawab Hari Pers Nasional 2022 Atal S Depari, Managing Director Vidiocom Monika Rudijono, Sekjen Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Muhammad Rafiq, Direktur Independen Viva Group Neil R Tobing, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Agung Suprio, serta Shanti Ruwyastuti dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI).
Bamsoet menjelaskan domestikasi dimaknai bahwa eksistensi perusahaan platform digital global harus menjadi obyek hukum yang dapat diatur dan patuh terhadap implementasi hukum nasional, dan harus beroperasi di dalam jangkauan hukum nasional. Hal ini sekaligus dimaksudkan sebagai transformasi regulasi yang mampu menjangkau keberadaan perusahaan global penyedia layanan konten atau data via jaringan (atau dikenal dengan perusahaan over the top).
"Dengan demikian, kedudukan berbagai platform digital global tersebut menjadi setara dengan para pelaku usaha nasional, yang selama ini telah taat pada berbagai ketentuan perpajakan, aturan media dan penyiaran, serta berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengingat bagi bidang media, kesetaraan di depan hukum ini sangat penting dan fundamental," paparnya.
Bamsoet menuturkan kebijakan tersebut bukan ditujukan untuk 'melawan' platform digital global. Melainkan, demi menciptakan persaingan usaha yang sehat, untuk mewujudkan keseimbangan dalam relasi kekuasaan, menegakkan prinsip persamaan di depan hukum, serta kesetaraan level kedudukan pada area bisnis yang sebidang.
"Membangun kemandirian digital meniscayakan adanya kemampuan untuk bersaing dan memiliki posisi tawar yang kuat, serta mampu mengambil manfaat dari alih teknologi dan inovasi. Kemandirian digital tidak akan terwujud kalau kita masih menempatkan diri sebagai pasar dari berbagai produk teknologi digital global," pungkasnya.
(fhs/ega)