Anggota Komisi VI DPR fraksi PAN, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) mengatakan murahnya harga minyak goreng harus diimbangi oleh ketersediaan stok. Eko menilai kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng saat ini malah menyebabkan stok minyak menjadi langka.
"Pertama saya ingin menekankan murahnya harga minyak goreng harus diimbangi dengan ketersediaan stok minyak goreng. Saya melihat jika ketidaktersedian minyak goreng di pasar tradisional, pasti penjual akan menjual harganya di atas Harga Eceran Tertinggi (HET)," kata Eko kepada wartawan, Minggu (6/2/2022).
Menurut Eko, pedagang minyak goreng saat ini ada pada posisi serba salah. Sebab stok minyak goreng yang ada masih menggunakan harga yang lama yaitu lebih mahal, namun terpaksa menjual lebih murah karena takut kena sanksi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang jika ada stok, pedagang di pasar dan warung kecil menjadi serba salah, minyak goreng yang mereka beli di distributor harganya mahal, tetapi sekarang disuruh jual murah, kalau tidak jual murah takut kena sanksi satgas, akhirnya terpaksa jual rugi," kata dia.
Adanya kebijakan HET minyak goreng ini, kata Eko, menjadi tidak berpihak kepada warga. Sebab kebijakan ini malah berakibat pada langkanya stok minyak.
"Menurut saya kebijakan HET minyak goreng ini menjadi tidak berpihak kepada masyarakat ketika justru menyebabkan kelangkaan dan yang disalahkan adalah penjual, apalagi penjual di warung atau pasar tradisional," katanya.
Ungkap Penyebab Minyak Goreng Langka
Eko kemudian memberikan usulan kepada pemerintah. Dia mengatakan permasalahan minyak goreng ini harus dilihat dari produsen yang tak mau memproduksi minyak goreng karena harga jualnya murah.
"Seharusnya Pemerintah melihat bahwa persoalannya bukan hanya di hilir tetapi juga ada di hulu. Produsen sekarang nggak mau memproduksi minyak goreng karena harga jualnya murah. Lalu dijanjikan agar disubsidi melalui BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit), tapi belum juga dialokasikan subsidinya. Akhirnya mereka milih untuk tidak mengeluarkan stok kepada distributor. Ini yang membuat minyak goreng langka di pasaran," katanya.
"Jika produsen dipaksa untuk memproduksi dengan harga murah, nanti yang akan ditekan harga beli dari petani sawitnya. Harga Tandan Buah Sawit (TBS) jadi murah. Petani akhirnya tertekan dan terpaksa menjual murah ke produsen," lanjutnya.
Selengkapnya di halaman berikut
Menurut Eko, selama ini, persoalan minyak goreng hanya dibahas pada level distributor, pedagang dan pembeli. Harsunya, kada Eko, persoalan saat ini ada pada hulu hingga hilir.
"Persoalan minyak goreng selama ini hanya dibahas pada hilir saja, hanya dibahas di level distributor, pedagang dan pembeli. Padahal persoalan ini hulu hingga hilir," katanya.
Minta Kemenkeu Terlibat
Persalahan minyak goreng ini, menurut Eko, bukan hanya ada pada ranah Kementerian Perdagangan. Eko menyebut Bolug yang ditunjuk sebagai distributor juga harus dilibatkan.
"Saya menyarankan jangan hanya Kemendag saja yang terlibat, ini kan ada Bulog yang juga ditunjuk Pemerintah untuk distribusi, tapi malah tidak dikasih peran," katanya.
Kementerian Keuangan (Kemenkue), lanjut Eko, juga perlu dilibatkan dalam persoalan minyak goreng ini. Keterlibatan itu, katanya, terkait persoalan subsidi.
"Kemenkeu juga perlu terlibat untuk ikut melihat subsidi ini baiknya diberikan di level produsen atau di level konsumen? Kalau level produsen ya melalui BPDPKS, kalau di level konsumen melalui APBN. Yang ideal menurut saya di level konsumen, tapi itu perlu waktu pembahasan melalui Pemerintah dan DPR di Banggar," tutur Eko.
Baca juga: Minyak Goreng Mahal, Siapa Biang Keroknya? |
Eko menambahkan bahwa pemerintah dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan itu pemerintah harus memilih antara penggunaan dana di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) digunakan untuk bahan bakar nabati (biofeul) atau untuk minyak goreng.
"Sekarang Pemerintah harus memilih antara dana di BPDPKS dipakai untuk biofuel atau buat minyak goreng. Pastinya untuk kemaslahatan masyarakat, lebih baik diarahkan untuk minyak goreng," katanya.
Satgas Pangan Polri sebelumnya melakukan sidak ke pasar-pasar tradisional di wilayah Jabodetabek. Hasilnya, masih ditemukan minyak goreng dengan harga di atas harga eceran tertinggi, yakni Rp 14 ribu.
"Para pedagang di pasar tradisional masih menjual minyak goreng di atas HET. Harga penjualan mengikuti HET sebesar Rp 14 ribu per liter," ungkap Dirtipideksus Bareskrim Polri Brigjen Whisnu Hermawan Februanto dalam keterangannya, Minggu (6/2).
Whisnu mengatakan sejumlah pedagang dan distributor di pasar tradisional belum sepenuhnya memahami aturan yang telah ditetapkan pemerintah terkait penentuan harga minyak goreng.
"Sebagian besar para pedagang pada pasar tradisional dan distributor belum memahami kebijakan refaksi oleh pemerintah," ujar Whisnu.