Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan nilai-nilai kebangsaan yang kita miliki harus menjadi pegangan bangsa untuk menuju Indonesia Emas. Penanaman nilai-nilai tersebut harus konsisten lewat proses pendidikan yang memanusiakan manusia.
"Indonesia memiliki empat konsensus kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tinggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang harus menjadi landasan setiap langkah anak bangsa untuk bersatu berbenah dalam menghadapi masuknya ideologi dari luar," kata Lestari saat membuka diskusi daring bertema Peran Nilai dan Revolusi Mental menuju Indonesia 2045 yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (2/2/2022).
Rerie, panggilan sapaannya, berpendapat pemahaman kita terhadap nilai-nilai saat ini dan nilai-nilai yang diharapkan masyarakat dapat menjadi bahan untuk berbenah dalam mewujudkan bangsa yang berkarakter kuat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan tantangan yang kita hadapi saat ini adalah bagaimana penanaman nilai-nilai kebangsaan ini lewat proses pendidikan untuk memanusiakan manusia. Rerie menilai berbagai macam forum bisa dikembangkan untuk mengkaji nilai-nilai tersebut.
Harapannya, katanya, kita sebagai bangsa harus mampu menghasilkan generasi yang siap menghadapi tantangan dan mencapai cita-cita bangsa. Seluruh anak bangsa disebut harus bersama-sama dan berperan aktif untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Aktivis kemanusiaan Alissa Wahid yang hadir sebagai narasumber mengungkapkan, dirinya bersama Nenilai melakukan inisiatif untuk memahami nilai-nilai yang ada di masyarakat lewat survei online dengan 50 ribu responden di tanah air yang dilakukan pada Juli-Desember 2020.
Nenilai merupakan gerakan inisiatif yang diprakarsai Bappenas, Indika Energy, Dayalima Abisatya, Pantarei, dan Stoik Trisula. Tujuan survei Nenilai tersebut untuk assesment nilai apa saja yang ada di masyarakat Indonesia terkait nilai-nilai pribadi, nilai yang berlaku di masyarakat, dan nilai-nilai yang diharapkan.
Hasil survei tersebut, ungkap Alissa, adalah bertanggung jawab, adil, dapat dipercaya, hidup sederhana, menghormati orang tua, dan kejujuran menjadi nilai-nilai pribadi para responden. Tetapi nilai yang berlaku di masyarakat menurut para responden antara lain birokratis, aturan berbelit-belit, dan korupsi.
Alissa menjelaskan, bertolak belakangnya nilai pribadi dan nilai masyarakat menyebabkan terjadinya entropi budaya di Indonesia. Dengan nilai 42%, yang berpotensi menghambat proses pembangunan anak bangsa.
Lantas, kata Alissa, bangsa Indonesia harus segera melakukan transformasi sosial untuk mewujudkan nilai-nilai yang diharapkan. Narasumber selanjutnya, Guru Besar Ilmu Filsafat UPH, Fransisco Budi Hardiman mengatakan Indonesia sedang sakit karena banyak mengalami gesekan-gesekan di tiga sektor.
Yaitu sektor agama dan religi, hukum dan politik, serta komunikasi dan digital. Kebebasan berkomunikasi tanpa dibarengi rasa tanggung jawab dan keadaban publik, ia sebut berpotensi memecah belah bangsa.
Untuk itu, Fransisco mengatakan perlu penguatan sistem dan peran ideologi Pancasila lewat dialog restoratif untuk menegaskan komitmen kebangsaan kita. Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, Komaruddin Hidayat yang juga merupakan narasumber menjelaskan nilai-nilai masyarakat sangat dipengaruhi oleh domain masyarakat, negara, government dan lembaga demokrasi. Ia mengatakan Indonesia punya aset nilai-nilai luhur yang kaya.
Tetapi katanya, kebhinekaan masyarakat masih terhalang perbedaan suku, etnis dan agama. Sementara itu, partai politik disebut masih sangat tergantung kekuatan uang.
"Betulkah lembaga-lembaga politik masih committed terhadap nilai-nilai untuk mewakili rakyat? Sementara untuk menjadi wakil rakyat para politisi membeli suara rakyat," ujar Komaruddin.
Menko PMK Muhadjir Effendy yang juga hadir sebagai narasumber, mengatakan perlunya penguatan etos kerja dan budaya gotong-royong yang merupakan saripati dari ideologi Pancasila bagi masyarakat. Hal itu untuk memperkuat nilai-nilai masyarakat.
Muhadjir menjelaskan penguatan nilai-nilai untuk mewujudkan revolusi mental harus dilakukan pada setiap tahapan usia. Namun, ia pesimis upaya tersebut dapat berjalan sesuai harapan karena upaya revolusi mental bangsa Indonesia sangat bergantung pada banyak aspek.
(ega/ega)