Jakarta - Pimpinan MPR Rabu (10/5/2006) ini, akan menggelar rapat khusus membahas keberadaan Ketetapan MPR No XI/1998 yang mengamanatkan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) secara tegas, termasuk kepada Soeharto. Artinya, ada peluang untuk dicabutnya Ketetapan MPR tersebut, sebagaimana akhir-akhir ini ramai dibicarakan.Langkah ini ditempuh pimpinan MPR guna menyelesaikan polemik yang ada di masyarakat terkait proses hukum atas Soeharto. "Jangan sampai kami dianggap tidak menaruh kepedulian terhadap persoalan ini," kata Wakil Ketua MPR AM Fatwa, usai menjenguk Soeharto di RSPP, Jakarta, Selasa (9/5/2006).Ini berarti pula bangsa ini tengah dihadapkan pada sebuah dilema untuk memilih penegakan hukum ataukah mengedepankan kemanusiaan. Sebuah aturan hukum 'terancam' akan dicabut karena sebuah alasan kemanusiaan.Perihal pencabutan Ketetapan MPR ini memang bukan wacana baru. Partai Golkar, dimana Soeharto pernah sangat berkuasa di dalamnya, pernah mengusulkan pencabutan Ketetapan MPR tersebut. Usulan tersebut mengemuka dalam Rapimnas Partai Golkar pada November 2005.Belum lagi dialektika yang terjadi dalam forum-forum diskusi, maupun melalui media massa, antara para politisi, pengamat maupun pakar hukum.Wacana sebenarnya ini tidak lepas dari ketidaktegasan pemerintah mengenai status hukum mantan orang berkuasa ini. Dalam perjalanannya selama 8 tahun, proses hukum terhadap Soeharto selalu mengalami tarik ulur.Mantan Ketua MPR, Amien Rais, bahkan menyalahkan pemerintah yang tak pernah serius menyelesaikan persoalan ini. "Seharusnya persoalan ini diselesaikan sejak lama," ujar Amien Rais beberapa waktu lalu.Saat ini, ditengah upaya medis yang dilakukan terhadap Soeharto, ungkapan belas kasih yang mengatasnamakan kemanusiaan, seolah mengamini pengampunan atas Soeharto. Para pejabat pemerintahan dan DPR ramai-ramai menyuarakan
welas asihnya.Beragam pendapat bermunculan. Wapres Jusuf Kalla, Senin (8/5/2006), menyatakan tidak perlu lagi ada pembicaraan mengenai proses hukum terhadap Soeharto. Kalla mengatakan pemerintah bisa memahami keadaan yang saat ini dialami oleh Soeharto.Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqqie bahkan menuding adanya kepura-puraan dari kejaksaan agung yang masih bersikukuh memeriksa Soeharto. Niatan kejaksaan agung dianggap hanya memberikan janji-janji kosong belaka. Karenanya, Jimly meminta ditutupnya kasus ini.Senada dengan Jimly, Gubenur Lemhanas Muladi mendesak dilakukannya
deponering, atau penutupan kasus Soeharto untuk selamanya. Menurut Muladi, dikeluarkannya SP3 masih belum cukup. Alasannya, kasus ini masih memiliki kemungkinan akan dibuka kembali jika hanya diSP3-kan.Lontaran Muladi ini cukup beralasan. Kasus ini pernah di SP3-kan pada Oktober 1999 dengan alasan minimnya bukti untuk menjerat Soeharto, meski akhirnya dibuka kembali oleh Presiden Abdurrahman Wahid dua bulan kemudian.Dari Senayan, Wakil Ketua DPR Zaenal Maarif meminta kasus Soeharto ini di SP3-kan. Pernyataan serupa diungkapkan oleh Wakil Ketua DPR yang lain, Soetardjo Soegoeritno.
KronologiBerawal dari kejatuhan Jenderal berbintang lima ini pada 21 Mei 1998 oleh gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa, penegakan supremasi hukum dengan mengadili Soeharto dan kroni-kroninya menjadi salah satu agenda pokok reformasi.Gayung pun bersambut. Pada tanggal 13 November 1998, MPR melalui sidang umumnya menetapkan upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto.Tak mau kalah, pada 2 Desember 1998 Presiden Habibie mengeluarkan Inpres No. 30/1998 tentang pengusutan kekayaan Soeharto. Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 5 Desember 1998, Jaksa Agung Andi M Ghalib, yang juga Ketua Tim Pengusutan Kekayaan Soeharto, mengeluarkan surat pemanggilan pertamanya kepada Soeharto. Sebelumnya Tim Kejaksaan Agung menemukan adanya indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan yang dikelola Soeharto.Pada 7 Desember 1998, di hadapan Komisi I DPR, Jaksa Agung mengungkapkan hasil pemeriksaan atas tujuh yayasan Soeharto, yaitu, Dharmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora.Diperkirakan, jumlah kekayaan yang dimiliki yayasan-yayasan tersebut senilai Rp 4,014 triliun. Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri, dengan nilai deposito senilai Rp 24 miliar, simpanan di rekening BCA sebesar Rp 23 miliar, dan tanah atas nama keluarga Cendana seluas 400 ribu hektare.Namun, upaya pemeriksaan terhadap Soeharto berulang kali menemui hambatan. Misalnya saja pada persidangan pertama Soeharto pada tanggal 31 Agustus 2000, tim dokter menyatakan Soeharto tidak dapat menghadiri persidangan dengan alasan sakit. Alasan serupa juga terjadi pada saat saat Soeharto dipanggil kembali untuk menjalani pengadilan, pada 14 September 2000.Kemudian pada 28 September 2000 majelis hakim menetapkan penuntutan perkara pidana Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Tidak ada jaminan Soeharto dapat dihadapkan ke persidangan karena alasan kesehatan.Akankah langkah hukum dan politik sebagai pembenaran atas pengampunan terhadap Soeharto tidak akan mengusik rasa keadilan yang selama ini diimpikan masyarakat? Belum lagi dendam yang masih bergemuruh di dada para korban pelanggaran HAM yang terjadi selama 32 tahun Soeharto berkuasa.Pilihannya, penegakan hukum atau mengagungkan kemanusiaan?
(mar/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini