Indonesia semakin dekat untuk mewujudkan pemindahan ibu kota negara (IKN). Jejak maju itu ditandai oleh dukungan politik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang telah menyetujui Rancangan Undang-Undang IKN menjadi undang-undang (UU).
Konsensus politik di parlemen sebenarnya tidak benar-benar mulus. PKS menjadi satu-satunya fraksi yang menolak hingga detik-detik akhir putusan.
"Saat ini kondisi ekonomi negeri kita masih dalam keadaan sulit dan belum pulih. Masyarakat dan bangsa kita masih berjuang melawan COVID, krisis yang terjadi mengakibatkan banyak rakyat kita kehilangan pekerjaan dan angka kemiskinan bertambah," kata anggota Fraksi PKS, Hamid Noor Yasin, saat melempar interupsi di rapat paripurna, Selasa, 18 Januari 2022.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan hanya di parlemen, silang pendapat juga masih terdengar di masyarakat. Suara kekhawatiran umumnya mengaitkan megaproyek IKN dengan situasi krisis saat ini, ketika negara masih berjibaku melawan dampak pandemi COVID-19.
Survei KedaiKopi memotret sekitar 61,9 persen responden tidak setuju dengan pemindahan ibu kota. Mayoritas responden menilai IKN sebagai pemborosan.
Kontroversi juga berasal dari Istana, yang mengumbar pembiayaan IKN tidak membebani APBN. Faktanya, dalam website IKN, proyek yang dikalkulasi memakan biaya hingga lebih dari Rp 400 triliun itu diproyeksikan menyerap 53,5 persen dana APBN. Sementara itu, sisanya berasal dari kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), swasta, serta BUMN.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan pembangunan ibu kota negara tak semata-mata mendirikan bangunan baru. Dia ingin magnet pembangunan tak hanya terpusat di Jawa, sehingga pemindahan ibu kota ke bagian tengah wilayah negara bisa menstimulasi pemerataan pembangunan.
"Apabila kita membiarkan hal ini berlanjut tanpa ada upaya yang serius, ketimpangan akan semakin parah. Untuk itu, rencana pemindahan ibu kota ke Pulau Kalimantan diletakkan dalam konteks ini, sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi baru, sekaligus memacu pemerataan dan keadilan ekonomi di luar Jawa," tutur Jokowi dalam pidato RAPBN dan Nota Keuangan 2020 di gedung DPR, Jumat (16/8/2019).
Namun optimisme Jokowi di sektor ekonomi mendapat tentangan dari riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Dalam riset berjudul 'Dampak Pemindahan Ibu Kota Negara terhadap Perekonomian Indonesia', proyek IKN dinilai tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) riil nasional. Hanya empat wilayah yang mendapat berkah pertumbuhan PDB, yakni Provinsi Kalimantan Timur (0,24%), Kalimantan Utara (0,02%), Kalimantan Selatan (0,01%), dan Papua Barat 0,01%.
Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat bahkan tidak terpengaruh meskipun lokasinya dekat dengan ibu kota baru. Sementara itu, wilayah yang terkena dampak negatif pemindahan ibu kota adalah DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang proyeksi pertumbuhannya turun hingga 0,03%.
Dilema Demokrasi dalam Konsep Otorita IKN
Sorotan juga tertuju pada konsep pemerintahan IKN. Dalam RUU yang telah disetujui DPR, IKN akan berbentuk pemerintah daerah khusus (pemdasus) yang dipimpin oleh kepala otorita. Meski ayat 1 Pasal 18B UUD 1945, menyebut negara mengakui satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa, penempatan kepala otorita untuk sebuah pemerintah daerah menjadi hal yang 'tak biasa'.
Lebih dari itu, kedudukan kepala otorita diplot selevel menteri dan bertanggung jawab kepada presiden. Tak ada pula DPRD di IKN Nusantara. Pembiayaan IKN Nusantara dari APBN, bukan APBD sebagaimana daerah lain. Lalu, Bagaimana nasib aspirasi masyarakat sipil dan adat bisa tersalurkan bila tak ada DPRD?
Berangkat dari Pertanyaan dan kekhawatiran dari sejumlah elemen masyarakat itulah, detikcom menggandeng Total Politik, membahas isu Ibu Kota Nusantara dalam program talk show bertajuk 'Adu Perspektif'. Program itu akan tayang secara langsung (live) malam ini, Rabu (26/01/2022), pukul 20.00 WIB. Sejumlah tokoh dan pakar kami libatkan, yakni Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, Andrinof Chaniago (mantan Kepala Bappenas), Rocky Gerung (peneliti Perhimpunan Demokrasi [P2D]), Faisal Basri (ekonom/peneliti senior Indef), dan Robi Muhamad (akademisi psikologi sosial UI).
(ids/fuf)