Sejarawan Indonesia Bonnie Triyana dilaporkan ke kepolisian Belanda lantaran kontroversi soal istilah 'Periode Bersiap'. Pelapornya adalah Federasi Hindia Belanda (FIN).
Dilansir dari laman resminya, FIN adalah organisasi dan berita independen Hindia Belanda. FIN memiliki minat pada isu-isu Hindia Belanda. Adapun organisasi memiliki beberapa misi, yaitu:
(1) melindungi dan memajukan warisan sejarah dan budaya Hindia Belanda;
(2) memperkuat pengetahuan sejarah seputar bekas Hindia Belanda dan;
(3) mewakili kepentingan Hindia Belanda, dimanapun di dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bonnie pun membenarkan soal laporan dari FIN ini. Dia dilaporkan karena artikelnya soal penolakannya pada istilah 'Bersiap'.
"(Benar) Kan sudah ramai diberitakan," ujar Bonnie kepada detikcom, Senin (24/1/2022).
Bonnie juga mengatakan pihaknya sudah mendapatkan bantuan dari pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Belanda. Pihaknya tengah mengikuti proses hukum ini.
"Semua membantu," lanjut Bonnie.
Lihat juga video 'Demo Anti Lockdown di Belanda Ricuh, Massa-Petugas Adu Jotos':
Polemik Bersiap
Polemik soal 'Periode Bersiap' ini bermula sikap Bonnie yang menghapuskan istilah 'Bersiap' yang muncul dalam pameran Revolusi! Indonesia Merdeka di Rijksmuseum. Bonnie sendiri merupakan kurator tamu di Rijksmuseum.
Tulisan Bonnie yang bikin geger itu tayang di surat kabar lokal NRC dengan judul 'Schrap de term Bersiap want die is racistisch' pada 10 Januari 2022. Dalam tulisannya, Bonnie mengatakan istilah 'Bersiap' itu perlu dihapus karena rasis.
Istilah 'Bersiap' di Belanda sendiri umum diketahui sebagai sejarah kekerasan anti-kolonial orang Indonesia pada periode 1945-1950. Namun, oleh Bonnie, istilah ini justru dipakai pejuang Indonesia sebagai aba-aba perang untuk menyerang orang
Belanda yang baru tiba di Kamp Jepang. Di kalangan masyarakat Indonesia sendiri, Bersiap dianggap sebagai periode para pejuang mengganyang Belanda-Nica yang membawa sekutu.
Oleh karena itu, Bonnie menilai istilah Bersiap bermuatan rasis. Sedangkan orang Belanda menganggap periode itu sebagai peristiwa yang tak termaafkan.