Undang-Undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN) memberikan ancaman pidana penjara, terutama dalam hal Komponen Cadangan (Komcad). Ahli pemerintah Prof Gede Pantja Astawa menyatakan meski ancaman penjara, namun masuknya delik administrasi.
Salah satunya tertuang dalam Pasal 77 ayat 1 UU PSDN:
Setiap Komponen Cadangan yang dengan sengaja membuat dirinya tidak memenuhi panggilan mobilisasi atau melakukan tipu muslihat yang menyebabkan dirinya terhindar dari Mobilisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"UndangβUndang PSDN dapat dikatakan atau masuk dalam kategori hukum pidana administrasi dengan alasan," kata Prof Gede Pantja Astawa yang tertuang dalam risalah sidang Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana dilansir website MK, Rabu (19/1/2022).
Mengapa masuk delik administrasi? Gede beralasan penamaan UU itu sendiri merupakan nomenklatur hukum administrasi negara. UU itu mengandung makna proses, cara, atau perbuatan mengelola, ataupun menyelenggarakan sumber daya nasional untuk pertahanan negara yang merupakan urusan pemerintahan yang bersifat administratif.
"Substansi norma yang terkandung di dalam normanya adalah norma hukum administrasi. Namun, mengandung sanksi pidana yang diatur dalam Bab X Ketentuan Pidana. Pengaturan ketentuan pidana tersebut memenuhi prinsip lex certa, artinya rumusan normanya jelas, lex scripta normanya dirumuskan secara tertulis, dan lex stricta rumusan normanya tegas sebagaimana dijumpai dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 UndangβUndang PSDN," beber Prof Gede Pantja Astawa, yang juga guru besar Universitas Padjadjaran (Unpad).
"Pencantuman Bab IX tentang Ketentuan Umum Pidana merupakan karakteristik dari hukum pidana administrasi," sambung Prof Gede Pantja Astawa.
Selain itu, hukum pidana administrasi (administrative penal law) adalah semua produk legislatif berupa peraturan perundangβundangan dalam rangka administrasi negara yang dalam lingkup administrasi negara yang memiliki sanksi pidana. Contohnya UndangβUndang Ketenagalistrikan, UndangβUndang Kehutanan, kepabeanan, UndangβUndang Keuangan Negara, Undang-Undang Perpajakan, dan seterusnya.
"Semuanya ini adalah masuk dalam lingkup hukum pidana administrasi. Karena itu, penyimpangan terhadap undangβundang yang saya sebutkan tadi, dia menjadi atau merupakan tindak pidana, misalnya di bidang kehutanan, tindak pidana di bidang perpajakan, tindak pidana di bidang keuangan, tindak pidana di bidang pasar modal, dan seterusnya," ucap Prof Gede Pantja Astawa.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi hukum pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Sampai saat ini pun hukum pidana masih digunakan, diandalkan sebagai salah satu sarana politik ataupun kebijakan kriminal. Bahkan akhirβakhir ini pada bagian akhir kebanyakan produk perundangβundangan hampir selalu mencantumkan sub bab tentang ketentuan pidana sebagai karakter dari administrative penal law.
"Hukum pidana hampir selalu menjadi guard pada disiplin ilmu lainnya di berbagai bidang termasuk disiplin hukum administrasi negara. Sehingga terkesan bahwa produk legislatif tanpa adanya ketentuan sanksi pidana, maka regulasi tersebut dianggap sebagai produk yang tidak ada nilainya," cetus Prof Gede Pantja Astawa.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hukum pidana administrasi merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan atau melaksanakan hukum administrasi. Jadi merupakan fungsionalisasi, operasionalisasi, instrumentalisasi hukum pidana di bidang hukum administrasi negara.
"Pendefinisian tindak pidana administrasi sebagai pendayagunaan hukum pidana untuk menegakkan hukum administrasi membawa konsekuensi bahwa hukum pidana hanya dapat diterapkan pada suatu peristiwa tertentu, tergantung apakah peristiwa tersebut tergolong perbuatan melawan hukum dalam hukum administrasi ataukah tidak? Pendefinisian di atas juga membawa konsekuensi bahwa hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir dalam penegakan hukum setelah diberikan peluang penyelesaian hukum melalui cabang hukum lain, misalnya hukum administrasi, hukum perdata, dan lain sebagainya," pungkas Prof Gede Pantja Astawa.
Sebagaimana diketahui, sejumlah LSM menggugat UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta komponen cadangan (komcad) dalam UU itu dihapuskan karena dinilai membahayakan dan inkonstitusional.
Mereka yang menggugat adalah Imparsial, Kontras, Yayasan Kebajikan Publik, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Ikhsan Yosarie, Gustika Fardani Jusuf, dan Leon Alvinda Putra.
"Menyatakan Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petitum permohonan Imparsial dkk.