Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa, 18 Januari 2022, majelis hakim lebih dulu menyoroti tentang pasal awal dalam surat dakwaan yang disusun oleh jaksa. Bagi majelis hakim, vonis yang dijatuhkan tidak boleh keluar dari apa yang didakwakan.
"Bahwa surat dakwaan merupakan landasan rujukan serta batasan dalam pembuktian tuntutan dan putusan suatu perkara pidana," ujar majelis hakim dalam sidang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi majelis hakim, sedari awal jaksa mendakwa dengan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor, bukan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Seperti dijelaskan di awal bahwa ancaman hukuman mati tercatat pada Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor, bukan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor.
"Sehingga majelis hakim tidak dapat membuktikan unsur Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor, akan tetapi majelis hanya membuktikan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor," sebut majelis hakim.
Setelahnya, majelis hakim menjelaskan mengenai Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor, yang salah satu argumen yang dipakai jaksa adalah soal perbuatan pengulangan tindak pidana korupsi. Majelis hakim menepis argumen jaksa itu.
"Majelis hakim tidak sependapat dengan Penuntut Umum tentang penjatuhan hukuman mati terhadap Terdakwa karena Penuntut Umum telah melanggar asas penuntutan karena menuntut di luar pasal yang didakwakan. Penuntut Umum tidak membuktikan kondisi-kondisi tertentu penggunaan dana yang dilakukan Terdakwa pada saat melakukan tindak pidana korupsi. Berdasarkan fakta, Terdakwa melakukan tindak pidana korupsi pada saat situasi negara aman, Terdakwa tidak terbukti melakukan tipikor secara pengulangan," papar majelis hakim.
"Tindak pidana korupsi dalam Jiwasraya berbarengan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa dalam perkara PT ASABRI sehingga lebih tepat dikategorikan concursus realis atau meerdaadse samenloop, bukan sebagai pengulangan tindak pidana," imbuh majelis hakim.
Mengenai concursus realis atau meerdaadse samenloop bisa dilihat pada KUHP di Pasal 65. Istilah itu kurang lebih berarti perbarengan perbuatan pidana, bukan pengulangan. Berikut isi dari Pasal 65 KUHP:
Pasal 65
(1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
(2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.
Lantas kenapa majelis hakim menjatuhkan vonis nihil pada Heru Hidayat?
Majelis hakim berpendapat Heru Hidayat telah divonis seumur hidup penjara. Berdasarkan Pasal 67 KUHP disebutkan, bila telah dijatuhi pidana mati atau seumur hidup, seorang tidak dapat dijatuhi pidana lain.
"Ancaman perampasan kemerdekaan dalam Pasal 2 ayat 1 (UU Tipikor) adalah pidana penjara seumur hidup dan berdasar ketentuan Pasal 67 KUHP, jika orang dijatuhi pidana mati atau seumur hidup, di samping itu tidak boleh dijatuhkan pidana lain atau pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman majelis hakim," kata majelis hakim.
Meski dijatuhi vonis nihil, Heru Hidayat dinyatakan majelis hakim terbukti melakukan tindak pidana korupsi di skandal ASABRI. Selain itu, Heru Hidayat dihukum membayar uang pengganti senilai Rp 12,643 triliun.
(dhn/fjp)