Argumen Jaksa soal Korupsi Berulang Heru Hidayat Ditepis Hakim, Kenapa?

Argumen Jaksa soal Korupsi Berulang Heru Hidayat Ditepis Hakim, Kenapa?

Dhani Irawan - detikNews
Rabu, 19 Jan 2022 10:53 WIB
Tuntutan hukuman mati di kasus ASABRI diajukan jaksa untuk Presiden Komisaris PT Trada Alam, Heru Hidayat.
Heru Hidayat (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Heru Hidayat lolos dari vonis mati setelah dijatuhi hukuman nihil oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Terdakwa perkara korupsi ASABRI itu dinyatakan majelis hakim tidak melakukan pengulangan perbuatan korupsi.

Meski divonis nol penjara, Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera (TRAM) itu tetap dinyatakan majelis hakim terbukti melakukan korupsi dalam skandal ASABRI. Heru Hidayat juga sebenarnya telah berstatus terpidana penjara seumur hidup dalam perkara korupsi Jiwasraya.

Untuk memahami bagaimana sengkarut ini, ada baiknya mengingat kembali soal dua perkara yang menjerat Heru Hidayat: Jiwasraya dan ASABRI. Berikut sekilas ulasannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perkara Jiwasraya menjadi yang pertama diusut Kejaksaan Agung (Kejagung) berkaitan dengan Heru Hidayat. Aksinya itu dilakukan bersama-sama dengan Benny Tjokrosaputro selaku Komisaris PT Hanson International Tbk.

Keduanya terbukti membuat negara rugi Rp 16 triliun dalam skandal Jiwasraya. Vonis seumur hidup bui dijatuhkan pada Heru Hidayat dan Benny Tjokro dan telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Dalam KUHP disebutkan penjara seumur hidup berarti dipenjara hingga akhir hayat terpidana tersebut.

ADVERTISEMENT

Setelah itu, Kejagung menetapkan Heru Hidayat dan Benny Tjokro sebagai tersangka dalam skandal ASABRI. Perkara bergulir hingga persidangan.

Jaksa penuntut umum lantas menuntut mati Heru Hidayat dengan argumen bahwa perbuatan korupsinya merupakan pengulangan. Untuk diketahui bahwa tuntutan mati dalam perkara korupsi tidak sembarangan karena telah diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor).

Berikut isinya:

Pasal 2 ayat 2

Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Penjelasan Pasal 2 ayat 2

Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Sementara itu, dalam surat dakwaan, jaksa menjerat Heru Hidayat dengan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor, yang ancaman hukuman maksimal dalam pasal itu adalah seumur hidup penjara. Berikut isi dari Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000.

Meski demikian, jaksa berargumen dalam tuntutan bahwa perbuatan Heru Hidayat adalah pengulangan karena sebelumnya dijerat dalam skandal Jiwasraya. Dengan argumen itu, jaksa menuntut mati Heru Hidayat sesuai dengan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor.

Namun majelis hakim tidak sependapat. Kenapa?

Simak Video: Skandal ASABRI, Heru Hidayat Divonis Nihil dan Bayar Rp12,6 T ke Negara

[Gambas:Video 20detik]



Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa, 18 Januari 2022, majelis hakim lebih dulu menyoroti tentang pasal awal dalam surat dakwaan yang disusun oleh jaksa. Bagi majelis hakim, vonis yang dijatuhkan tidak boleh keluar dari apa yang didakwakan.

"Bahwa surat dakwaan merupakan landasan rujukan serta batasan dalam pembuktian tuntutan dan putusan suatu perkara pidana," ujar majelis hakim dalam sidang.

Bagi majelis hakim, sedari awal jaksa mendakwa dengan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor, bukan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Seperti dijelaskan di awal bahwa ancaman hukuman mati tercatat pada Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor, bukan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor.

"Sehingga majelis hakim tidak dapat membuktikan unsur Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor, akan tetapi majelis hanya membuktikan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor," sebut majelis hakim.

Setelahnya, majelis hakim menjelaskan mengenai Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor, yang salah satu argumen yang dipakai jaksa adalah soal perbuatan pengulangan tindak pidana korupsi. Majelis hakim menepis argumen jaksa itu.

"Majelis hakim tidak sependapat dengan Penuntut Umum tentang penjatuhan hukuman mati terhadap Terdakwa karena Penuntut Umum telah melanggar asas penuntutan karena menuntut di luar pasal yang didakwakan. Penuntut Umum tidak membuktikan kondisi-kondisi tertentu penggunaan dana yang dilakukan Terdakwa pada saat melakukan tindak pidana korupsi. Berdasarkan fakta, Terdakwa melakukan tindak pidana korupsi pada saat situasi negara aman, Terdakwa tidak terbukti melakukan tipikor secara pengulangan," papar majelis hakim.

"Tindak pidana korupsi dalam Jiwasraya berbarengan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa dalam perkara PT ASABRI sehingga lebih tepat dikategorikan concursus realis atau meerdaadse samenloop, bukan sebagai pengulangan tindak pidana," imbuh majelis hakim.

Mengenai concursus realis atau meerdaadse samenloop bisa dilihat pada KUHP di Pasal 65. Istilah itu kurang lebih berarti perbarengan perbuatan pidana, bukan pengulangan. Berikut isi dari Pasal 65 KUHP:

Pasal 65
(1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
(2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.

Lantas kenapa majelis hakim menjatuhkan vonis nihil pada Heru Hidayat?

Majelis hakim berpendapat Heru Hidayat telah divonis seumur hidup penjara. Berdasarkan Pasal 67 KUHP disebutkan, bila telah dijatuhi pidana mati atau seumur hidup, seorang tidak dapat dijatuhi pidana lain.

"Ancaman perampasan kemerdekaan dalam Pasal 2 ayat 1 (UU Tipikor) adalah pidana penjara seumur hidup dan berdasar ketentuan Pasal 67 KUHP, jika orang dijatuhi pidana mati atau seumur hidup, di samping itu tidak boleh dijatuhkan pidana lain atau pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman majelis hakim," kata majelis hakim.

Meski dijatuhi vonis nihil, Heru Hidayat dinyatakan majelis hakim terbukti melakukan tindak pidana korupsi di skandal ASABRI. Selain itu, Heru Hidayat dihukum membayar uang pengganti senilai Rp 12,643 triliun.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads