VCD Porno, Pacaran & Sukarno

Laporan dari Yordania (2)

VCD Porno, Pacaran & Sukarno

- detikNews
Senin, 08 Mei 2006 09:59 WIB
Amman - Dari depan Hotel Sheraton, Amman, Yordania, kami menumpang bus umum. Bus yang cukup tua. Mirip dengan reyotnya Metromini di Jakarta. Udara 16 derajat Celcius cukup menolong. Jendela bus yang dibuka lebar membuat penumpang bus terasa nyaman. Per orang dikenai tarif 15 shiling. 1 Dinar (mata uang resmi Yordania) setara dengan 100 shiling. 1 Dinar sekitar Rp 12.500. Dinar Yordania memang lebih kuat dibanding dolar AS. Tarif bus 15 shiling itu setara dengan Rp 1.875. Siang itu, Rabu (3/5/2006) saya beruntung ditemani M Anis, Redaktur Pelaksana situs resmi kepresidenan (www.presidensby.info), yang bahasa Arabnya tergolong fasih. Bahasa Arab adalah bahasa keseharian di Yordania. Anis pada awal 1990-an pernah merantau 2 minggu di Yordania sehingga cukup hafal seluk beluk Kota Amman.Kami berniat menuju ke pusat kota lama Amman. Ketika Anis bertanya pada pak sopir apakah bus rutenya ke Balad (pasar), pusat kota lama Amman, pak sopir mengangguk mengiyakan.Rupanya, pak sopir ingkar janji. Semua penumpang diturunkan di tengah perjalanan. Seluruh penumpang, termasuk kami, ngedumel. Tapi toh kami semua manut, turun dan membayar ongkos. Lunas.Perjalanan kami lanjut dengan taksi. Sampailah kami di Balad. Sebuah pasar tua. Tembok bangunan pasar terlihat tua. Suasananya mirip Pasar Blauran Surabaya. Emperan toko dipenuhi pedagang kaki lima. Semrawut tapi bersih. Sampah tidak bertebaran. Di emperan toko ini kami singgah di lapak VCD. Film-film bajakan dijajakan. Mulai dari film Barat hingga India, ada semua. Yang bikin kaget ketika kami ditawari VCD porno. "Hanya satu dinar," kata penjualnya, seorang laki-laki Arab sembari menarik tangan Anis. Benar-benar tidak ada bedanya dengan Blauran. VCD porno itu dibungkus dengan cover, maaf, perempuan telanjang bulat. Persislah dengan yang beredar di kawasan Glodok, atau pun Blok M. Cara menjualnya juga sembunyi-sembunyi.Pukul 13.00 waktu Amman, denyut kehidupan Balad sudah sangat terasa. Kami terus menyusuri pertokoan ke arah selatan. Suasana kekunoan makin terasa. Nuansa Romawi makin terlihat. Di sebuah sudut terlihat bangunan kuno peninggalan Romawi. Bangunan air mancur. Bangunan ini berada di bawah penguasaan Department of Antiquities, Yordania.200 Meter dari situ, kami memasuki kompleks Amphiteater yang dibangun pada masa Romawi diperintah oleh Antonius Pius (138 - 161 Masehi). Pilar-pilar besar, sebagian masih utuh, sebagian sudah tinggal setengah atau bahkan sepertiganya, berdiri kokoh di bagian depan.Dengan membayar 1 Dinar (Rp 12.500) , kami pun memasuki Amphiteater Romawi (dikenal dengan sebutan Teater Selatan) itu. Wowww.....sebuah bangunan yang menakjubkan. Semuanya terbuat dari batu. Beberapa arca tanpa kepala teronggok di sudut kiri.Level pertama Teater Selatan ini terdiri dari 14 trap tempat duduk. Sedangkan di bagian atas terdiri dari 15 trap. Kapasitas total 3.000 orang. Kami secara berlahan menaiki level demi level. Kaki terasa geloyoran. Tapi toh sampai juga kami di level paling atas.Lagi-lagi, hembusan angin dingin membuat kami nyaman tanpa keringat. Suasana di Teater Selatan sendiri cukup sepi. Hanya beberapa bule yang terlihat asyik memotret. "Ini memang bukan musimnya turis," kata Abdulrahman, petugas museum di situ. Setelah tiba di atas, Temple of Hercules terlihat berdiri di atas sebuah bukit. Sudah tidak utuh lagi. Tinggal tiga pilar besar berdiri tegak. Di level paling atas itu pula, kami melihat 4 pasang laki perempuan, duduk terpencar, sedang berasyik masyuk. "Biasalah mereka sedang pacaran," kata seorang anak muda yang menjajakan minuman dingin.Memang, pasangan-pasangan itu terlihat mesra. Kadang saling meremas jemari. Namun, kemesraan itu masih dalam taraf wajar. Pasangan pasangan itu tampaknya tak terusik dengan kehadiran kami. Kami sendiri yang akhirnya risih dan memilih untuk turun menuju ke museum.Di museum itu saya membeli sebuah buku tentang sejarah Yordania seharga 10 Dinar. Abdulrahman, penjaga museum itu menyodorkan ke saya sebuah buku dengan sampul warna biru. Namun saya memilih yang hijau, karena gambar-gambarnya lebih oke.Sesampainya di luar kompleks Teater Selatan itu, saya duduk di bawah sebuah pohon sembari membuka buku tersebut. Saya baru menyadari kalau teks di dalam buku itu menggunakan bahasa Spanyol. Saya pun buru-buru balik menemui Abdulrahman untuk menukar buku yang berteks Inggris.Abdulrahman, pria berumur 55 tahun itu pun menggerutu. 'Tadi kan saya sudah menyodorkan buku yang berbahasa Inggris. Kau menolak," katanya. Dengan wajah memerah saya pun minta maaf kepada. "Saya tadi terkesima dengan foto yang bagus saja, tidak menyadari kalauteksnya Spanyol."Buku saya tukar. Cabut. Sesampai di pelataran luar, Anis terlihat sedang asyik menghirup kopi Turki. Dengan gelas kopi di tangan, Anis dan saya menuju ke kerumunan 5-6 orang lelaki penjual barang-barang antik. "Bolehkah saya mengambil foto?"tanya saya."Silakan. Anda dari mana?" tanya salah seorang dari mereka dengan penuh persabahatan. Ketika saya menyebut Indonesia, wajah mereka berbinar-binar. "Indonesia. Kami sahabat Indonesia. Ahmad Sukarno," kata mereka serentak.Saya katakan, Soekarno itu presiden Indonesia yang pertama. Mereka rupanya mengerti. Mereka lantas menunjukkan sebuah koran pagi yang memuat gambar Presiden SBY tiba di Yordania berikut berita kunjungan SBY.Panjangnya nama Presiden SBY tampaknya menyulit lafal mereka. "Sebut saja SBY," begitu kata saya spontan. Siapa tahu, dengan cukup menyebut SBY akan memudahkan mereka melafal dan menghafal. "Presiden SBY," tiru mereka. "Betul, Presiden SBY," kata saya. Kami pun kemudian tertawa bersama. Mereka menyalami saya dan Anis. "Ahmad Sukarno, Presiden SBY," kata mereka lagi. Aha!!!Foto:Pacaran di Amphiteater Romawi (nrl/)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads