Terhimpit Peradaban Modern, Begini Cara Ciptagelar Pertahankan Tradisi

Terhimpit Peradaban Modern, Begini Cara Ciptagelar Pertahankan Tradisi

Syahdan Alamsyah - detikNews
Jumat, 14 Jan 2022 13:56 WIB
Kampung Adat Ciptagelar
Foto: Dok. Syahdan Alamsyah/detikcom
Sukabumi -

Suara musik terdengar kencang dari pengeras suara di atas panggung, lampu sorot warna-warni meliuk-liuk bergantian. Sejumlah warga berikat kepala bergerak mendekat, mereka memperhatikan setiap liukan lampu sorot yang sepertinya asing bagi mereka.

Rupanya, beberapa orang memang tengah sibuk mempersiapkan lokasi acara untuk kedatangan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar ke Kampung Adat Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.

Rencananya, pria yang akrab disapa Gus Menteri ini akan merayakan Sewindu Undang-undang Desa di perkampungan adat tersebut. Puncak acara akan digelar pada Sabtu (15/1/2022) besok, sejumlah spanduk hingga baliho besar memajang foto Mendes PDTT.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Karak abah ningali lampu kuat kitu, nyorot moncorong. Bisa kikituan, jigana karak ayeuna aya kikituan didieu, (Baru abah melihat lampu sampai seperti itu, berkilauan. Bisa seperti itu, sepertinya baru sekarang ada gang seperti itu disini)," kata Abah Ugan (60), warga setempat saat berbincang dengan detikcom, Jumat (14/1/2022).

Meski sudah terlihat modernisasi di berbagai sudut perkampungan, televisi, jaringan listrik hingga telepon seluler Kampung Adat Ciptagelar masih kuat mempertahankan tradisi bahkan hingga hari ini. Hal itu tidak lepas dari perananan Abah Ugi, selaku Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar.

ADVERTISEMENT

"Untuk teknologi sendiri kalau di tempat yang lain mungkin teknologi itu kalau enggak boleh tetap enggak boleh, kalau di wilayah Abah sendiri dipilah mana teknologi yang boleh kita gunakan mana yang tidak boleh kita gunakan, semua kembali kepada pemegangnya," kata pria bernama lengkap Abah Ugi Sugriana Rakasiwi kepada detikcom.

Kampung Adat CiptagelarFoto: Dok. Syahdan Alamsyah/detikcom

Abah meyakini tradisi, adat dan aturan leluhur yang dipelihara turun temurun hingga hari ini sudah tertanam di warganya dengan baik.

"Rata-rata yang paling penting itu kita dari orang tua ke anak-anak menjelaskan mana baiknya mana sisi buruknya, jadi ya kalau kita udah jelaskan semuanya dikembalikan sama warga sama anak-anak kita. Yang penting itu kita udah kasih tau dampak negatifnya," ungkap Abah Ugi.

"Kita sudah menjelaskan dampak positifnya teknologi itu seperti ini dan sebagainya, tergolong paling kita banyak ngobrol dengan anak-anak masalah teknologi yang modern. Dan karena teknologi modern juga ada yang sama sekali engak boleh, ya kita sebisa mungkin menghindari itu semua, ya kita pilah menghindari, mana yang buat warga Abah ya kita gunakan, mana yang enggak boleh ya sebisa mungkin kita ke anak-anak kita ini enggak boleh digunakan di adat," sambungnya.

Halaman Selanjutnya: Aturan Pertahankan Tradisi

Ada larangan yang secara tidak langsung menjadi aturan dalam mempertahankan adat dan tradisi bagi warga di Kampung Adat Ciptagelar.

"Jadi untuk larangan sendiri kalau di Abah di sini ada beberapa undang-undang ya, salah satunya undang-undang di Pemerintahan, undang-undang dasar mungkin, itu mungkin ke pemerintahan, terus lagi ada undang-undang agama sama undang-undang adat," kata Abah Ugi.

Untuk undang-undang adat berlangsung turun temurun selama beberapa generasi. Aturan itu di antaranya bagaimana warga bisa hidup selaras dengan alam, karena ketika memperlakukan alam dengan baik maka sebaliknya alam akan memperlakukan manusia dengan baik.

"Ya turun temurun diregenerasikan dari leluhur karena kita hidup berdekatan berdampingan dengan alam ya otomatis kita harus menjaga alam tersebut. Kalau misalkan warga merusak alamnya kita juga mungkin di sini akan terkena dampaknya, makanya kalau undang-undang pemerintahan ya mungkin kalau kena sanksi itu dihukum entah itu dipenjara entah itu seperti apa," ungkap Abah Ugi.

"Kalau di adat hukumnya itu terasa oleh dirinya sendiri, ibaratkan kata zaman dulu itu turun temurun kita regenerasi itu simpelnya itu kabendon atau kualat kalau kita melanggar satu aturan adat katanya Kabendon, jadi dikembalikan pada diri kita masing-masing. Ada peribahasa di Abah di sini "genteng ku kadekna legok ku tapakna cilaka ku amal perbuatan nana" jadi ya dikembalikan kepada diri kita, tergantung kesadaran warga di sini karena mungkin udah kebiasaannya seperti itu dari dulu ya itu yang dipertahanka," pungkas Abah.

Halaman 2 dari 2
(akd/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads