Pandemi Corona belum juga berakhir. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun memperpanjang status pandemi COVID-19 untuk menindaklanjuti perintah Mahkamah Konstitusi (MK).
Keputusan itu ditetapkan dan ditandatangani Jokowi lewat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2021.
"Menetapkan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) yang merupakan Global Pandemic sesuai pernyataan World Health Organization secara faktual masih terjadi dan belum berakhir di Indonesia," demikian bunyi Keppres Nomor 24 Tahun 2021 yang dilansir dari website Setneg, Minggu (2/1/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jokowi beralasan, pandemi dan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang telah dinyatakan oleh WHO sebagai Global Pandemic sejak 11 Maret 2020 dan ditetapkan sebagai kedaruratan kesehatan masyarakat berdasarkan Keppres 11/2020 sampai saat ini belum berakhir dan berdampak terhadap berbagai aspek termasuk aspek kesehatan, ekonomi, dan sosial yang luas di Indonesia. Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan pentingnya pernyataan dari Presiden atas status faktual pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia, perlu diberikan kepastian hukum mengenai belum berakhirnya pandemi COVID-19.
Dalam masa pandemi, pemerintah melaksanakan kebijakan di bidang keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan berdasarkan:
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2O2O tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang;
2. undang-undang yang mengatur mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara setelah melalui proses legislasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat termasuk dalam rangka menyetujui pengalokasian anggaran serta penentuan batas defisit anggaran guna penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) beserta dampaknya, dan setelah mendapatkan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Daerah; dan
3. peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
"Dalam rangka penanganan, pengendalian, dan/atau pencegahan panderni Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) beserta dampaknya khususnya di bidang kesehatan, ekonomi, dan sosial, Pemerintah dapat menetapkan aturan kebijakan melalui penetapan skema pendanaan antara Pemerintah dengan badan usaha yang bergerak di bidang pembiayaan pelayanan kesehatan dan skema lainnya," demikian bunyi diktum ketiga.
Lihat Video: Awal Tahun 2022, Covid di Dunia Tembus 288 Juta Kasus
Status Pandemi
Sebagaimana diketahui, MK memerintahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menentukan kelanjutan status pandemi Corona pada akhir 2021 ini. Akankah status pandemi berakhir atau berlanjut ke 2022?
Perintah MK itu disampaikan kala membacakan putusan gugatan nomor 37/PUU-XVIII/2020 terkait UU Nomor 2 Tahun 2020 (atau yang dikenal dengan Perppu Corona) harus dengan persetujuan DPR. Pemerintah diharuskan mengumumkan status pandemi COVID-19 pada akhir tahun kedua sejak status itu dibuat.
"Peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi COVID-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi COVID-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3 UU a quo masih dapat diberlakukan, namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan pandemi COVID-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang dibacakan di gedung MK dan disiarkan di channel YouTube MK, Kamis (28/10/2021).
MK juga me-review Pasal 27 ayat 3 menjadi:
Sebelum review:
(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Setelah di-review MK:
(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi COVID-19 serta dilakukan dengan itikad baik dan sesuai peraturan perundang-undangan.
Dampaknya
Lalu, apa dampaknya? Yaitu:
1. Pemerintah melaksanakan kebijakan di bidang keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 atau yang biasa dikenal dengan Perppu Corona.
2. Pengalokasian anggaran serta penentuan batas defisit anggaran guna penanganan pandemi COVID-19 beserta dampaknya.
3. Peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
Batasan Defisit Anggaran
Pemerintah berwenang:
1. Melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
2. Sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan
3. Penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap.
Pemerintah berwenang:
1. melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;
2. melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram;
3. melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang /jasa;
4. menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi COVID-19 untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, dan atau investor ritel.
5. menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri;
6. memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan;
7. melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/ penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu;
8. memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah;
9. melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara.
Kebijakan Keuangan Daerah
Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Kebijakan Perpajakan
Negara dapat melakukan serangkaian kebijakan pajak terkait dampak Covid-19, yaitu:
1. Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
2. perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE);
3. perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
4. pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional.
Alokasi Dana Pemulihan Ekonomi Nasional
Program pemulihan ekonomi nasional dapat dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan
Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan dibuat untuk menjaga stabilitas sistem keuangan di tengah-tengah kondisi terjadinya pandemi COVID-19 untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi. Kebijakan ini membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Untuk mendukung KSSK, Bank Indonesia diberikan kewenangan:
1. memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Sistemik atau bank selain Bank Sistemik;
2. memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus kepada Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan KSSK;
3. membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi COVID-19
4. membeli/repo surat berharga negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk biaya penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik dan bank selain Bank Sistemik;
5. mengatur kewajiban penerimaan dan penggunaan devisa bagi penduduk termasuk ketentuan mengenai penyerahan, repatriasi, dan konversi devisa dalam rangka menjaga kestabilan makroekonomi dan sistem keuangan; dan
6. memberikan akses pendanaan kepada korporasi/swasta dengan cara repo Surat Utang Negara atau Surat Berharga Syariah Negara yang dimiliki korporasi/swasta melalui perbankan.
Untuk mendukung KSSK, OJK diberikan kewenangan:
1. memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi;
2. menetapkan pengecualian bagi pihak tertentu dari kewajiban melakukan prinsip keterbukaan di bidang pasar modal dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan; dan
3. menetapkan ketentuan mengenai pemanfaatan teknologi informasi dalam penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham atau rapat lain yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan wajib dilakukan oleh pelaku industri jasa keuangan.