Melihat prestasi seseorang yang baik dan sukses, kadang kita dengan entengnya memberikan pujian. Tindakan memuji ada kalanya dibolehkan, namun secara umum memuji-muji tidak dibolehkan. Memuji tidak dibolehkan karena mengandung enam unsur bahaya, yaitu empat bagi orang yang memuji dan dua bagi orang yang dipuji.
Berikut ini adalah bahaya pujian bagi orang yang memuji :
1. Orang yang memuji sering dirasuki sikap riya', karena dengan memuji menandakan ia menampakkan kecintaan pada orang yang dipujinya.
2. Orang yang memuji sering mengatakan sesuatu yang tidak nyata dan tidak pernah dilihatnya.
3. Orang yang memuji kadang memuji secara berlebihan sehingga cenderung berdusta.
4. Orang yang memuji membuat orang yang dipuji merasa gembira, padahal ia adalah orang yang zalim. Tindakan seperti ini tidak dibolehkan.
Sedang bahaya pujian bagi orang yang dipuji adalah :
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Membuat orang yang dipuji menjadi sombong dan ujub (bangga dan mengagumi diri sendiri).
2. Orang yang dipuji akan menyukai pujian itu, namun ia melupakan kekurangan dirinya sehingga semangatnya untuk berbuat baik menurun atau menjadi lengah.
Di sini penulis akan memfokuskan pada pujian yang mendatangkan bahaya, adapun pujian untuk memberikan dorongan agar beribadah semakin khusyu' sah saja. Ajaran Islam membolehkan seorang muslim memberikan pujian kepada orang lain. Memuji orang lain dikatakan baik jika pujian yang diberikan ditujukan untuk memuji kebaikan orang lain yang memang ada pada dirinya. Apabila pujian ditujukan untuk memuji sesuatu yang memang tidak ada padanya atau tidak diperbuat olehnya maka hal inilah yang tidak boleh. Allah SWT berfirman dalam Surah ali-Imran ayat 188 yang artinya,
"Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih."
Pujian adalah ujian berupa kebaikan, karena ketika kita dipuji, bisa jadi kita akan merasa sombong dan merasa takjub / bangga pada diri sendiri, bahkan kita lupa bahwa semua nikmat ini adalah dari Allah, kemudian kita merasa hebat dan lupa bersyukur. Kagum terhadap diri sendiri merupakan suatu sifat yang bisa menggelincirkan menuju kebinasaan.
Ujub itu adanya di hati, tidak tampak secara lahiriah. Oleh karenya kita harus hati-hati dalam mengelola perasaan agar terhindar dari berbangga diri.
Imam Ghazali mengungkapkan ada beberapa penyakit hati yang merupakan cerminan akhlak tercela, baik bagi orang yang memuji mau pun yang dipuji. Penyakit hati yang diidap orang yang suka memuji orang lain, menurut Imam Ghazali, biasa terjadi di kalangan penguasa, orang-orang yang punya kedudukan atau kekayaan, adalah dusta, lancang (suka menjilat), dan munafik. Kebiasaan dikalangan pejabat dalam sambutan-sambutan kegiatan sering kita dengar ada selipan untuk memuji.
Inilah larangan memuji, diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Ada seseorang yang memuji temannya di sisi Nabi shallallahu alaihi wasallam, kemudian beliau bersabda,"
"Celaka kamu, kamu telah memenggal leher temanmu, kamu telah memenggal leher temanmu -berulang-ulang-. Kalaupun salah seorang di antara kalian harus memuji temannya maka hendaknya dia mengatakan: 'Aku mengira dia seperti itu dan Allah lah yang menghisabnya, aku tidak memuji siapapun di hadapan Allah'."
Seseorang itu pada dasarnya senang dipuji ( manusiawi ), seorang artis akan bersedih ketika miskin pujian, seorang motivator yang selalu mendapatkan tepuk tangan meriah dan diterima dengan perasaan sumringah. Hal ini menjadi " penyakit hati " ketika pujian menjadi kebutuhan. Dikisahkan seorang motivator bercerita pada penulis bahwa, tepuk tangan menjadikan dia bahagia, pada suatu saat dia galau dan mendatangi Sang Guru menanyakan tentang hal itu. Sang Guru menjawab, " Tahukah kau seekor nyamuk mati karena tepukan tangan, hatimu keras juga disebabkan tepukan tangan." Saat itu dia sadar dan memohon ampunan pada-Nya serta menjadikan tepuk tangan pujian tiada berarti apa-apa.
Godaan pujian yang menjadikan perasaan bahagia ini sebetulnya diperankan bersama nafsu, bagi orang beriman pujian maupun celaan dari makhluk tiada arti. Kita mesti ingat bahwa pujian menghadirkan bahaya bagi pemuji dan yang dipuji seperti penulis sampaikan diatas.
Bagaimana kita bersikap ?, jika kita akan memuji, maka pujilah dan dorong agar yang bersangkutan bisa meningkatkan ibadahnya. Bagi yang dipuji bersikaplah wajar dan biasa serta sampaikan bahwa segala puji hanya untuk Allah semata. Semoga kita semua termasuk penulis tidak tertipu dengan nikmatnya pujian, dan bisa mengendalikan perasaan agar tidak tergelincir karena pujian tersebut.
Aunur Rofiq
Sekretaris Majelis Pakar DPP PPP 2020-2025
Ketua Dewan Pembina HIPSI ( Himpunan Pengusaha Santri Indonesia )
(erd/erd)