Penerimaan pajak saat ini tembus target, di mana per 26 Desember 2021 jumlah neto penerimaan pajak Rp 1.231,87 triliun, sama dengan 100,19 persen dari target yang ditetapkan di APBN tahun anggaran 2021 sebesar Rp 1.229,6 triliun. Ketua Banggar DPR Said Abdullah memberikan apresiasi atas pencapaian ini.
"Saya sangat mengapresiasi pencapaian target pajak yang didapat oleh pemerintah. Pencapaian target pajak yang mencapai 100 persen lebih ini patut kita syukuri. Terakhir pada 2008 lalu kita memperoleh penerimaan pajak 100 persen, setelah itu penerimaan perpajakan kita selalu shortfall. Penerimaan perpajakan ini amat penting, dengan penerimaan perpajakan yang menjadi tulang punggung pendapatan negara tercapai, maka pemerintah menggenapi sukses setelah sebelumnya target penerimaan cukai dan PNBP juga melampaui target," tutur Said kepada wartawan, Rabu (29/12/2021).
Dengan penerimaan perpajakan yang melampaui target, lanjut Said, secara otomatis akan menurunkan tingkat tingkat defisit APBN pada tahun ini ditarget maksimal 5,7 persen PDB. Dengan pencapaian ini, Said meyakini defisit APBN akan lebih rendah. Said memperkirakan di kisaran 5,2-5,3 persen PDB.
"Ke depan kita berharap prestasi ini bisa berkelanjutan. Kita membutuhkan pendapatan negara yang besar ke depan. Pada 2022 di luar skema program pengampunan pajak, kita berharap pemerintah bisa mencapai penerimaan perpajakan yang baik, jatuh shortfall kembali. Hitung-hitungan di atas kertas, harusnya pada 2022 nanti penerimaan perpajakan bisa lebih baik. Pemerintah telah memiliki segenap payung hukum pada sektor perpajakan seiring disahkannya Undang-Undang No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)," tutur Said.
Ketua DPP PDIP Bidang Perekonomian ini mengatakan, berbekal Undang-Undang HPP, pemerintah memiliki amunisi baru, selain pengampunan pajak, ada banyak pengaturan baru, misalnya saja kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen, dan pada 2025 naik ke 12 persen, pengenaan pajak karbon, termasuk payung hukum untuk penyempurnaan administrasi perpajakan. Jika pada 2020 wajib pajak yang wajib SPT baru sebanyak 19 juta, ada kenaikan dari 2019 sebanyak 18,33 juta, maka pada 2021 diharapkan wajib pajak yang wajib SPT bisa naik signifikan, terlebih lagi telah terintegrasi NIK secara otomatis menjadi NPWP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika rasio kepatuhan wajib pajak selama empat tahun terakhir di kisaran 71-77,63 persen, pada tahun depan kita berharap rasio kepatuhan wajib pajak bisa mencapai di atas 85 persen. Apalagi wajib pajak terpicu oleh program pengampunan pajak. Saya berharap pemerintah lebih meningkatkan tingkat kepatuhan pelaporan SPT, khususnya terhadap wajib pajak pribadi nonkaryawan dan wajib pajak badan yang tingkat kepatuhannya lebih rendah bila dibandingkan dengan wajib pajak pribadi karyawan," kata Said.
Said mengatakan, melalui UU HPP, pemerintah juga diberi kelenturan fiskal terhadap pengaturan PPN. Pemerintah diberi kewenangan untuk menurunkan dan menaikkan PPN di beberapa sektor sebagai kebutuhan hukum pemerintah ke depan. Pemerintah diberi kewenangan untuk menurunkan PPN hingga 5 persen dan diperbolehkan menaikkan PPN hingga 15 persen. Kelenturan PPN ini, sambung Said, bisa digunakan pemerintah untuk insentif dan disinsentif perpajakan.
Tak hanya itu, menurut Said, kelenturan PPN ini bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mendorong transformasi ekonomi kita, agar lebih ramah lingkungan, jangka panjangnya pembangunan kita bisa berkelanjutan. Untuk sektor sektor yang masih memproduksi dan konsumsi barang yang tinggi karbon, penghasil sampah yang tidak terurai, limbah berbahaya dan sejenisnya, pemerintah bisa mengenai PPN tinggi plus pengenaan pajak karbon, sebaliknya terhadap mereka yang memproduksi dan mengkonsumsi barang rendah emisi, ramah lingkungan dapat diberi keringanan PPN.
"Pemerintah juga telah mengesahkan Undang-Undang No 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang. Bekal ini harusnya juga menjadi instrumen hukum yang baik untuk meningkatkan rasio perpajakan kita yang masih rendah bila dibandingkan dengan negara negara tetangga kita. Rasio perpajakan kita masih berkutat di kisaran 10-12 persen PDB. Sementara negara negara tetangga kita telah di atas 13 persen. Melalui kerjasama keterbukaan informasi oleh negara negara anggota OECD, seharusnya Ditjen Pajak mendapatkan potensi potensi wajib pajak baru yang berskala besar, skala big fish, terutama yang di luar negeri," tutur Said.
"Apalagi, dari pengalaman pengampunan pajak 2016, yang kita targetkan untuk mendapatkan repatriasi dari WNI yang menyimpan hartanya di luar negeri, namun dapatnya malah lebih banyak yang deklarasi di dalam negeri. Tantangan kita juga mampu menjangkau wajib pajak yang di luar negeri tetapi usahanya masuk ke dalam negeri, seperti Google, Facebook, dll, juga bisa dijangkau lebih maksimal oleh otoritas pajak kita. Maka, dengan kondisi ini, akan terjadi akselerasi pemulihan ekonomi nasional," pungkasnya.
(fjp/tor)