Ketua KPU RI Arief Budiman dan anggota KPU RI Evi Novida Ginting menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang putusannya final dan binding. Pemohon menghadirkan Guru Besar UI Prof Topo Santoso.
Menurut Topo, putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat sebagaimana tercantum dalam Pasal 458 ayat (13) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah mengakibatkan tidak adanya mekanisme koreksi terhadap putusan DKPP secara langsung oleh Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Padahal mekanisme koreksi atas suatu putusan dalam kepemiluan sangat penting dilakukan.
"Mengingat selalu ada kemungkinan terjadinya kekeliruan baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam substansi putusannya sendiri," kata Topo Santoso sebagaimana dilansir website MK, Rabu (1/12/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam keterangannya, Topo mengatakan dalam konteks substansi bisa terjadi kekeliruan pemahaman anggota DKPP. Menurutnya, DKPP bukanlah penafsiran atas substansi UU Pemilu.
"Namun, suatu ketika bisa terjadi anggota DKPP menafsirkan dan bisa saja terjadi kekeliruan," ujar Topo dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto tersebut.
Topo melanjutkan sifat final dan mengikat dari putusan suatu lembaga mempersyaratkan juga keanggotaan lembaga yang memiliki putusan harus kredibel dan memiliki kapasitas. Selain itu, lanjutnya, sifat final dan mengikat putusan memang dibutuhkan karena suatu masalah penyelesaiannya berada di jalur cepat ataufast trackmodel seperti penyelesaian perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.
"Putusan menyangkut pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tidak memerlukan penyelesaian di jalur cepat, seperti sengketa tahapan atau proses, misalnya calon calon peserta pemilu atau calon presiden atau calon anggota DPR atau DPRD yang dianggap tidak memenuhi syarat. Bahkan yang terakhir ini pun, masih ada mekanisme koreksinya di PTUN. Jadi, kalau ada kesalahan dari Bawaslu masih bisa dikoreksi. Penyelesaian arus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tidak berada di jalur cepat, sehingga kebutuhan atas putusan yang final dan mengikat tidak diperlukan," papar Topo.
![]() |
Lebih lanjut Topo mengatakan putusan DKPP bersifat final dan mengikat yang tidak dibatasi pengertiannya, mengakibatkan bahwa putusan PTUN yang merupakan tindak lanjut gugatan putusan DKPP, tidak dipatuhi oleh DKPP. Kekeliruan pemahaman DKPP atas eksistensi, sifat, dan fungsi dari putusan PTUN ini bisa sangat merugikan anggota KPU dan juga Bawaslu. Hal tersebut karena DKPP tidak menganggap bahwa putusan lembaga peradilan seperti PTUN ada dan berlaku.
"Dalam sistem hukum kita dan juga negara lain, putusan peradilan itu harus dihormati dan dilaksanakan, kecuali jika memang masih bisa disanggah. Selanjutnya, lembaga lainnya yang bertanggung jawab menindaklanjuti keputusan DKPP tersebut misalnya presiden, dalam konteks pemberhentian anggota KPU dan Bawaslu maka jika PTUN mengadili sengketa TUN atas keluarnya putusan presiden itu maka DKPP sudah tidak ada kewenangan lagi atas hal itu. DKPP mesti menghormati putusan PTUN atau putusan peradilan lainnya jika ada melibatkan lembaga lain," terang Topo.
Dalam kesempatan itu, Topo memberikan rekomendasi agar DKPP perlu dikembalikan menjadi panitia ad hoc. Ia berpendapat jika DKPP tetap badan permanen, maka perlu penataan ulang terhadap yang tugas utama untuk memproses dan memberikan rekomendasi penjatuhan sanksi atas pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Bawaslu. Ia pun menyarankan panitiaad hoctersebut terdiri atas tokoh masyarakat, akademisi, dan mantan penyelenggara pemilu. Panitia tersebut, lanjutnya, dibentuk hanya jika ada terjadi dugaan terjadinya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang diajukan oleh pihakβpihak yang melaporkan dugaan pelanggaran kode etik.
"Panitia ad hoc penyelesaian pelanggaran kode etik ini tugasnya hanya memproses dan memberikan rekomendasi penjatuhan sanksi dugaan terjadinya pelanggaran kode etik menjelang pemilu, tidak melaksanakan tugas lainnya," urai Topo.
Di akhir keterangannya, Topo menilai jika DKPP mengeluarkan putusan terkait suatu pelanggaran kode etik, maka sebaiknya diperlukan suatu lembaga yang memiliki kewenangan untuk bisa mengoreksi putusan dari DKPP, misalnya PTUN.
"Sehingga putusan DKPP itu nantinya mungkin dalam konteks administrasi dapat dikatakan sebagai suatu keputusan TUN, sehingga bisa dikoreksi oleh lembaga peradilan. Itu adalah alternatif lain apabila pendapat-pendapat Ahli untuk melakukan penataan ulang terhadap DKPP itu tidak bisa dilaksanakan," tandas Topo.
Hal senada juga disampaikan oleh pengajar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar. Dalam keterangannya, ia mengungkapkan bahwa tepat jika DKPP dikembalikan fungsinya sebagai panitia ad hoc.
"Karenaad hocsifatnya, nanti ada kasus yang mengenai kesalahan etik yang dilakukan oleh KPU daerah dan Bawaslu daerah, maka kemudian itu sangat mungkin diselesaikan begitu saja oleh KPU sebagai lembaga induknya," ujarnya.
Zainal pun mengungkapkan alangkah baiknya jika dibentuk sebuah Lembaga peradilan etik untuk semua pejabat negara. "Saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Jimly bahwa ke depan mungkin bisa dipikirkan ya, membentuk satu peradilan etik ya, sebagai perkembangan court law of ethic dan court of justice adalah kebutuhan dalam sebuah konsep ketatanegaraan yang lebih baik," tandasnya.
Sebagaimana diketahui, Arief Budiman telah dipecat DKPP dari Ketua KPU karena 'menemani' Evi Novida Ginting ke PTUN saat mengajukan gugatan pemecatan. Arief Budiman menegaskan tidak pernah melawan DKPP.
Dalam konferensi pers virtual, Jumat (15/1/2021), Arief Budiman menyebut perkara yang dihadapinya diadukan dengan dua pokok aduan. Pokok aduan yang pertama adalah dia diadukan dugaan pelanggaran kode etik karena mengantarkan Evi Novida Ginting mendaftarkan gugatan ke PTUN. Evi Novida sempat diberhentikan dari komisioner KPU.
"Dalam persidangan itu telah saya jelaskan secara runtut bahwa pendaftaran gugatan itu dilakukan Bu Evi dan kuasa hukumnya melalui online, e-court, dan itu dilakukan sekitar pukul 07.30 WIB kalau tidak salah. Sementara saya mendengar kabar Bu Evi dan beberapa kuasanya sedang ada di pengadilan dan saya sampai di pengadilan siang, jelang salat Jumat. Seingat saya itu," jelas Arief Budiman.