Solo - Bukan seniman namanya kalau tidak kreatif menyampaikan gagasan. Merasa mendapati kebuntuan berdialog dengan manusia, sejumlah seniman di Solo memilih 'berdialog' dengan monyet. Mereka lalu mengadu dan berkeluh-kesah seputar rencana pengesahan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) menjadi UU. Sepuluh seniman dari Kelompok Wayang Kampung Sebelah (WKS) Solo, Kamis (27/4/2006) pagi datang ke Kebun Binatang Jurug Solo. Yang dituju adalah kadang-kandang monyet. Tak lupa mereka membawa nampan-nampan berisi buah-buahan kesukaaan monyet untuk diberikan kepada penghuni kandang. Sesampai di tempat yang dituju, mereka langsung duduk dengan formasi setengah lingkaran menghadap ke sebuah kandang monyet. Pimpinan WKS, Ki Jlitheng Suparman, memimpin acara. Kepada para monyet itu dia menyampaikan maksud dan tujuan datang bersama kawan-kawannya. "Kami datang ke mari untuk mengadukan nasib karena bicara dengan sesama manusia sekarang sudah sulit dan sama sekali tidak didengar. Para penguasa telah menjadi manusia setengah dewa yang sulit dijangkau. Lebih baik kami bicara saja dngan
sampeyan, Mbah," ujar Jlitheng kepada para monyet itu. Kepada para monyet itu, Jlitheng lalu mengeluhkan kesulitan tatanan hidup yang akan dialami jika RUU APP disahkan menjadi UU. "Kami akan
kekes (stres),
Mbah. Sampeyan enak, telanjang bulat pun tidak ada yang marah," kata dia yang disambut tawa meledak puluhan orang yang menyaksikan adegan tersebut. Tidak cuma masalah itu yang disampaikannya. Dia juga mengadukan nasib Tanah Air yang semakin hari semakin habis kekayaan alamnya karena dikeruk bangsa asing yang memiliki modal besar. "Emas, batu bara, minyak dan semua kekayaan kita sekarang sudah hampir habis dirampok asing, Mbah. Kita tidak kebagian apa-apa lagi selain jualan batu akik," keluhnya dengan nada meratap, yang lagi-lagi disambut tawa para petugas dan pengunjung kebun binatang. Poster-poster yang mereka bawa juga tidak kalah uniknya. Misalnya "Terancam RUU Porno? Di sini tempat Anda cari suaka. Presiden BMM (Bicara Bersama Monyet)', 'Pikirannya Bapak Yang Bobrok, Kok Barangnya Simbok Yang Diobok-obok', dan beberapa poster menyentil lainnya.
'Inul' dan 'Rhoma' Pentas Bersama Usai mengadu kepada para monyet, WKS menggelar pentas tidak jauh dari kandang hewan. Ki Jlitheng menjadi dalangnya, sembilan orang lainnya menjadi pemusik dan penyanyi mengiringi pentas berdurasi satu jam yang penuh gelak tawa dan direspons baik oleh para pengunjung. Tokoh-tokoh wayang dalam WKS adalah penduduk biasa. Musik dan lagu iringan juga musik dan lagu modern. Bahasa pengantar Ki Jlitheng dalam mendalang juga Bahasa Indonesia. Pemanggungannya sangat cair. Judul pentasnya 'Agar Ada Hari Esok', bercerita tentang lingkungan pedesaan yang semakin rusak karena keserakahan. Yang menarik adalah adegan ketika dalam cerita itu digelar panggung hiburan. Muncul wayang bernama Koma Ra Marimari. Sosok dan atribut yang dipakai dimiripkan penyanyi Rhoma Irama. Lagu yang dinyanyikan 'Terajana' karya Rhoma. Gerakan wayang itu pun dimiripkan dengan gaya panggung Rhoma. Setelah menyanyi, si Koma Ra Marimari ini memanggil penyanyi lain yang disebutnya sebagai sahabat bernama Minul Darahtinggi. Anak wayang perempuan ini dimiripkan dengan penyanyi Inul Daratista. Goyangannya saat menyanyi juga segera dapat diasosiasikan sebagai goyang ngebor ala Inul.
Aksi dalam Bahasa Seniman Usai pentas, kepada wartawan, Ki Jlitheng mengatakan bahwa aksi ini adalah bahasa protes seorang seniman terhadap sebuah perangkat RUU yang dinilai sangat membahayakan jika disahkan sebagai sebuah produk hukum legal. RUU APP dinilai sangat mengekang ekspresi dan kreativitas. "Aturan bahwa karya seni hanya boleh dipentaskan di gedung kesenian itu adalah pelanggaran HAM berat, baik terhadap senimannya maupun masyarakat penikmat seni. Selain itu RUU tersebut berpotensi dimanipulasi menjadi alat kontrol politik penguasa terhadap penciptaan karya seni," ujarnya.
(nrl/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini