Wakil Ketua MPR,SyariefHasan mengapresiasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang pada intinya menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 sehingga dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Melalui Putusan tersebut, MK memerintahkan kepada perancang UU agar segera merevisi UUCK maksimal 2 tahun semenjak Putusan tersebut dibacakan.
Jika revisi tidak dilakukan dalam tenggang waktu yang diberikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional permanen dan batal secara hukum.
"Sejak awal Partai Demokrat protes keras baik terbuka maupun Paripurna DPR atas UUCK ini dan menyatakan bahwa UUCK ini cacat formil dan materil. Secara prosedural, pembentukan UUCK tidak sesuai dengan mekanisme pembentukan UU yang baik. Substansi UUCK juga banyak bertentangan dengan kehendak rakyat, mengorbankan kepentingan umum. Jadi, apa yang diputuskan MK ini menjadi bukti bahwa pemerintah dan DPR RI memang tidak proper dalam menyusun legislasi," ungkap Syarief dalam keterangannya, Sabtu (27/11/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Syarief menilai bahwa seharusnya pemerintah dan DPR tidak bisa memaksakan kehendak untuk mengagendakan legislasi yang tidak punya pijakan konstitusional. Oleh sebab itu, UUCK yang menggunakan metode omnibus law bukanlah tradisi dan sistem hukum yang dianut oleh Indonesia. Ia juga menganggap kalau pembentukan UUCK jelas-jelas merupakan sebuah pemaksaan yang tidak berdasar. Putusan MK ini adalah bentuk koreksi untuk menegakkan konstitusionalitas dan tata bernegara yang baik.
"Jika membaca Amar Putusan MK yang memerintahkan penangguhan segala bentuk kebijakan/tindakan strategis dan berdampak luas, serta penerbitan peraturan pelaksana yang baru, tindakan ngotot pemerintah dan DPR RI yang mengesahkan UUCK jelas menimbulkan kebingungan hukum. Bagaimana dan apa risikonya, misalkan, peraturan pelaksana yang sudah dibuat tidak mencakup hal-hal tertentu, yang harusnya butuh regulasi baru?" ungkapnya.
Karena itu, Syarief menilai pemerintah harus segera melakukan revisi atas UUCK sesuai dengan Putusan MK tersebut. Menurutnya, hal ini menyangkut kepastian hukum yang ditunggu oleh semua orang, pemerintahan, masyarakat, maupun dunia usaha. Jika pemerintah sering mengklaim UUCK sebagai terobosan, misalnya untuk mengurai kendala perizinan berusaha, maka harus ada kepastian hukum terlebih dahulu. Jika pemerintah lambat merespon, maka akan timbul kekacauan hukum dan dunia berusaha.
"Saya berkali-kali menyarankan agar pemerintah dan DPR RI taat asas dan prosedur dalam pembentukan legislasi. Dengarlah suara rakyat, dan jangan suka memaksakan kehendak. Sebagai negara demokrasi, pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap kritik dan masukan dari Partai non koalisi dan masyarakat. Jika pemerintah selalu merasa paling tahu, maka dampaknya seperti sekarang ini. Tidak salah rakyat menyindir UUCK ini menjadi UU Cilaka," jelas Syarief.
(akn/ega)