MK Ketok Nasib UU Cipta Kerja Kamis Esok

MK Ketok Nasib UU Cipta Kerja Kamis Esok

Andi Saputra - detikNews
Selasa, 23 Nov 2021 11:27 WIB
Sejumlah buruh gelar aksi di kawasan Monas, Jakarta. Mereka mendesak MK untuk melanjutkan sidang uji materi UU Cipta Kerja yang tertunda gegara virus Corona.
Demo UU Cipta Kerja (rifki/detikcom)
Jakarta -

Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan nasib UU Cipta Kerja pada Kamis (25/11) besok. Judicial review itu diajukan oleh belasan elemen masyarakat yang meminta UU Cipta Kerja dicabut dan dibatalkan MK.

Berdasarkan jadwal sidang MK yang dilansir website-nya, Selasa (23/11/2021), putusan itu akan dibacakan sejak pukul 10.00 WIB. Berikut daftar perkara UU Cipta Kerja yang akan diputus:

87/PUU-XVIII/2020 (uji materiil)
Pemohon:
Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa yang diwakili oleh Deni Sunarya selaku Ketua Umum dan Muhammad Hafidz selaku Sekretaris Umum.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

91/PUU-XVIII/2020 (uji formil)
Pemohon:
Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas, Ali Sujito, Muhtar Said, SH, MH, Migrant CARE (yang diwakili oleh Ketua dan Sekretaris), Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat (yang diwakili oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum), dan Mahkamah Adat Alam Minangkabau yang diwakili oleh Ketua (Imam) Mahkamah.

101/PUU-XVIII/2020 (uji materiil)
Pemohon:
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, yang diwakili oleh Ir Said Iqbal, ME, selaku Presiden Dewan Eksekutif Nasional dan Ramidi, selaku Sekretaris Jenderal; dkk.

ADVERTISEMENT

103/PUU-XVIII/2020 (uji formil dan materiil)
Pemohon:
Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), yang diwakili oleh Elly Rosita Silaban selaku Presiden Dewan Eksekutif dan Dedi Hardianto selaku Sekretaris Jenderal.

105/PUU-XVIII/2020 (uji formil dan materiil)
Pemohon:
Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP TSK - SPSI), yang diwakili oleh Roy Jinto Ferianto, SH, sebagai Ketua Umum dan Moch. Popon, SH, sebagai Sekretaris Umum (Pemohon I); Rudi Harlan (Pemohon II); Arie Nugraha (Pemohon III); Bey Arifin (Pemohon IV); dkk.

107/PUU-XVIII/2020 (uji formiil)
Pemohon:
Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), dkk.

108/PUU-XVIII/2020 (uji materiil)
Pemohon:
Ignatius Supriyadi, SH, LLM (Pemohon I), Sidik, SHI (Pemohon II), Janteri, SH (Pemohon III)

3/PUU-XIX/2021 (uji materiil)
Pemohon:
Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI) yang diwakili oleh Sudarto (Ketua Umum) dan Yayan Supyan (Sekretaris Umum)

4/PUU-XIX/2021 (uji formil dan materiil)
Pemohon:
R. Abdullah selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI), Indra Munaswar selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI), Abdul Hakim selaku Ketua Umum Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia '98, dkk.

5/PUU-XIX/2021 (uji materiil)
Pemohon:
Putu Bagus Dian Rendragraha (Pemohon I) dan Simon Petrus Simbolon (Pemohon II)

Sebagaimana diketahui, sidang judicial review UU Ciptaker ini cukup lama dan panjang. Sejumlah ahli dan saksi dihadirkan. Sejumlah hakim konstitusi juga terlibat perdebatan panas dengan para ahli.

"Tapi karena saya tergelitik oleh pernyataan Prof Pantja Astawa. Saya mohon klarifikasi. Tadi Prof mengatakan model pembentukan undang-undang dengan omnibus law ini, itu bisa dikategorikan sebagai konvensi. Nah, kira-kira ini dalil baru dari mana bisa membenarkan ini, Prof? Menganggap ini sebagai konvensi ketatanegaraan?" kata hakim konstitusi Saldi Isra pada sidang pada Oktober lalu.

Senada dengan Saldi, hakim konstitusi Wahiduddin Adams juga menyoroti strategi omnibus law. Apakah bagian dari strategi jalan cepat atau jalan pintas. Sebab, sudah ada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan.

"Sebab, kalau kebutuhan-kebutuhan harus selalu jalan pintas, tanpa ada pedoman dan batasan-batasan, bukankah kita nanti akan terjebak pada budaya yang saya sebutkan pada waktu lalu, membenarkan yang biasa, bukan membiasakan yang benar. Pedoman itu ada batasan-batasannya, nah kita ini belum ada batasan-batasannya," kata Wahiduddin.

Menjawab berbagai pertanyaan di atas, ahli dari DPR, M Fauzan, sependapat dengan pemilihan omnibus law dengan alasan lebih cepat dan menghemat energi dan biaya. Pakar hukum tata negara itu mengaku tidak bisa membayangkan apabila mengubah lebih dari 70 UU harus dilakukan secara konvensional. Sebab, akan memerlukan waktu yang sangat lama.

"Misalkan untuk perubahan satu UU dibutuhkan minimal waktu 3 bulan, maka diperlukan waktu minimal sekitar 210 bulan atau setara dengan 17 tahun 6 bulan. Belum lagi berapa biaya yang dibutuhkan untuk mengubah 70-an UU tersebut," kata M Fauzan yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (FH Unsoed) Purwokerto itu.

Halaman 2 dari 2
(asp/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads