Seorang perempuan yang bekerja sebagai tenaga pendidik di sebuah kampus negeri menulis surat terbuka untuk Mendikbudristek Nadiem Makarim. Perempuan itu bercerita tentang pengalamannya saat menjadi korban pelecehan seksual.
Surat terbuka untuk Nadiem itu viral di Twitter. Dalam surat itu, dia memperkenalkan diri sebagai orang yang bekerja sebagai tenaga kependidikan di sebuah kampus negeri. Dia merasa senang atas adanya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Namun, dia sedih aturan tersebut belum ada ketika ia menjadi korban pelecehan seksual.
"Saya perempuan dan saya adalah tenaga kependidikan di salah satu fakultas ilmu sosial di kampus negeri yang membawa nama negara kita. Saya sedih sekaligus senang dengan adanya Permendikbud No. 30 Tahun 2021. Saya sedih karena saat saya mengalami sexual harassment Mas Menteri belum menjabat sehingga belum ada peraturan ini," tulisnya seperti dikutip detikcom, Senin (22/11/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia bercerita soal pengalamannya menjadi korban pelecehan seksual selama bekerja. Dia mencontohkan bentuk pelecehan tersebut, seperti gurauan soal alat kelamin, gurauan mesum, hingga gurauan ajakan untuk berhubungan intim.
Pengalaman ini pun berdampak kepada kondisi mentalnya. Ia mengalami trauma hingga harus berobat ke psikiater dan mengkonsumsi obat.
"Karena kondisi trauma saya dianggap berat oleh psikiater hingga diresepkan obat," ujarnya.
Trauma tersebut akhirnya berdampak kepada kondisi mental dan fisiknya. Ia bahkan sempat mengalami relapse (kambuh) yang membuatnya sesak napas hingga dilarikan ke UGD.
Dia lantas memberanikan diri untuk melaporkan kejadian ini ke pihak kampus. Semata-mata agar traumanya bisa perlahan pulih.
"Saya akhirnya memberanikan diri untuk mengirimkan aduan melalui e-mail dengan harapan trauma ini bisa perlahan pulih tanpa terapi obat karena saya rilis ke pihak yang tepat. Tanggal 19 November 2018 melalui e-mail, saya uraikan keluhan saya hingga ke detail," ungkapnya.
Kendati demikian, e-mail aduan itu tidak mendapatkan tanggapan dari pihak kampus. Bahkan hingga akhirnya si pelaku pelecehan seksual itu pensiun pada 2019.
"Tidak ada tanggapan dari e-mail aduan saya hingga pelaku pensiun pada Oktober 2019. Bahkan hingga hari ini saya tidak mendapat jawaban kenapa aduan saya tidak ditanggapi," tuturnya.
Di akhir surat, dia mengaku tidak bermaksud ingin menjatuhkan pelaku atau pihak mana pun lewat surat tersebut. Dia hanya ingin bersuara tentang pentingnya Permendikbud No 30 Tahun 2021 dan daruratnya isu pelecehan seksual di kampus.
Lihat juga video 'Tukang Cukur Rambut di Gorontalo Sodomi Anak di Bawah Umur':
Pro-Kontra Permendikbud
Seperti diketahui, penerbitan Permendikbud PPKS menuai pro dan kontra di masyarakat. Ada yang menuding Permendikbud ini melegalkan zina. Namun, tudingan itu sudah dibantah oleh Kemendikbud.
Nadiem sendiri sudah bicara soal sanksi bagi pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Dia mengatakan sanksi yang bakal diberikan tergantung pelanggaran yang terjadi.
"Sanksi ringan yaitu formatnya seperti teguran tertulis atau pernyataan permohonan maaf, sampai dengan sanksi berat. Sanksi administrasi terberat adalah pemberhentian, misalnya sebagai mahasiswa atau sebagai jabatan dosen dan lain-lain," ujar Nadiem.
Nadiem mengatakan pelaku yang mendapatkan sanksi ringan dan sedang wajib mengikuti program konseling sebelum kembali beraktivitas di kampus. Biaya konseling ditanggung pelaku.
Dia kemudian mengatakan ada juga sanksi bagi perguruan tinggi yang tidak menjalankan Permendikbud 30 Tahun 2021. Salah satunya penurunan akreditasi.
"Sanksi untuk perguruan tingginya, sanksi administratif ya. Di mana kalau tidak melakukan proses PPKS ini sesuai Permen ini ada berbagai macam sanksi dari keuangan sampai akreditasi. Jadi ada dampak riilnya. Kalau kita tidak melaksanakan ini, banyak kampus tidak merasakan urgensi daripada keseriusan pemerintah menangani kekerasan seksual ini," tuturnya.