Seorang istri di Karawang, Jawa Barat, dituntut 1 tahun penjara gara-gara sering memarahi suami yang suka mabuk-mabukan. Penanganan perkara ini dinilai cacat hukum.
"Ada kecacatan hukum karena terlalu fokus pada aspek kepastian pada norma undang-undang tapi mengabaikan aspek keadilan dan kemanfaatan," ujar pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad kepada detikcom, Rabu (17/11/2021).
Seharusnya, kata Suparji, jaksa melibatkan hati nurani sendiri ketika memproses dan menuntut terdakwa. Jika jaksa melibatkan hati nurani, Suparji menyebut putusan perkara ini akan memperoleh keadilan nurani.
"Inilah konstruksi kecacatannya. Karena kejaksaan sekarang sangat mengedepankan keadilan nurani," jelas Suparji.
Selain itu, Suparji menyebut jaksa penuntut umum seharusnya dapat berkoordinasi untuk tidak melanjutkan perkara ini. Jaksa, terang Suparji, bisa mengedepankan prinsip restorative justice, yakni mengarah ke perdamaian kedua belah pihak.
Suparji menambahkan upaya perdamaian perlu dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kesalahan pelaku, akibat yang diderita korban dan efektivitas pemidanaan serta overcapacity lapas.
"Perkara ini seharusnya tidak perlu sampai ke pengadilan," sebut Suparji.
Tidak Peka
Kejagung menilai jaksa penuntut umum (JPU) yang menangani kasus ini dari sebelum sampai penuntutan tidak memiliki sense of crisis atau kepekaan. Suparji menilai ketidakpekaan JPU karena menggunakan 'kacamata kuda'.
"Dianggap tidak peka karena hanya menggunakan 'kacamata kuda' dalam menyelesaikan perkara tersebut. Seharusnya peka untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang lain, seperti kemanfaatan hukuman, keberlangsungan keluarga tersebut, dan implikasi proses hukum tersebut," jelasnya.
Simak video 'Kejaksaan Agung Ambil Alih Perkara Istri Omeli Suami Dituntut 1 Tahun':
Awal mula kasus simak di halaman berikutnya
(isa/idn)