Senator Papua Barat, Filep Wamafma meminta pemerintah pusat hingga pemerintah daerah di Provinsi Papua dan Papua Barat segera mengambil langkah untuk memastikan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) dan peraturan pelaksanaannya terimplementasi dengan baik.
Filep menyebut UU Otsus harus dapat dilaksanakan dan berjalan efektif pada tahun 2022. Dengan demikian, pemerintah pusat maupun daerah sebagai penanggung jawab perlu memastikannya berjalan baik sehingga dengan adanya UU Otsus dapat menjawab kebutuhan masyarakat terutama Orang Asli Papua (OAP).
"Pasca disahkan, tentu menjadi harapan baru bahwa kehadiran undang-undang ini memberikan jaminan baik dalam tata kelola pemerintahan maupun kebijakan afirmasi-afirmasi kepada orang asli Papua, juga masyarakat adat di Papua sebagai salah satu subjek paling utama dalam konteks Otonomi Khusus," ujar Filep dalam keterangan tertulis, Sabtu (13/11/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bagi saya sebagai Senator dari Papua Barat dan juga sebagai tim penyusun RUU maupun pengesahan dan juga RPP hingga Peraturan Pemerintah meminta agar pemerintah pusat segera melakukan upaya dan langkah-langkah konkrit agar kebijakan otonomi khusus tepat sasaran dan dilaksanakan di tahun 2022," imbuhnya.
Lebih lanjut, Wakil Ketua I Komite I DPD RI ini menyampaikan setidaknya ada 4 hal penting yang perlu segera dilaksanakan oleh pemerintah. Pertama, hal hal yang berkaitan dengan perencanaan anggaran berbasis otonomi khusus. Dalam hal, kementerian keuangan, pemerintah daerah dan jajarannya sudah harus melakukan skema baru terkait pengalokasian anggaran dana otonomi khusus, baik di provinsi maupun di kabupaten/kota.
Ia berharap dengan perencanaan anggaran Otsus untuk pendidikan yang rinci, mulai tahun 2022 orang asli Papua dapat menempuh pendidikan tanpa dibebankan biaya.
"Hal yang mendasar pertama adalah terkait alokasi dana Otonomi Khusus untuk sektor pendidikan bahwa sesuai dengan amanat Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah bahwa pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memberikan jaminan terkait penyelenggaraan pendidikan setingkat pendidikan Taman Kanak-Kanak hingga di tingkat perguruan tinggi. Artinya bahwa ada skema anggaran yang harus dibahas bersama-sama antara pemerintah provinsi berdasarkan kewenangan pengelolaannya dengan pemerintahan kabupaten/kota," jelasnya.
Kedua, aturan yang berkaitan dengan jaminan kesehatan. Menurut Filep, dibutuhkan skema yang dengan tegas memberikan kepastian bahwa pemerintah menjamin kesehatan orang asli Papua. Salah satunya dengan memberikan dukungan dan membebaskan orang asli Papua dari segala bentuk biaya kesehatan.
"Perencanaan anggaran Otsus sudah seharusnya dipahami oleh SKPD-SKPD terkait termasuk kebijakan tata kelola dana kesehatan bagi orang asli Papua harus dirumuskan dengan baik. Bagaimana langkah dan cara yang tepat sehingga alokasi dana kesehatan tidak lagi seperti 20 tahun lalu yang seolah belum nampak hasilnya," ujarnya.
Ketiga, hal yang berkaitan dengan pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) migas untuk Papua Barat, yakni bagi 7 suku di teluk Bintuni. Filep menjelaskan masyarakat adat 7 suku di teluk Bintuni merupakan pihak yang memperoleh hak berdasarkan amanat undang-undang dan amanat Peraturan Pemerintah bahwa 10 persen dari hasil migas diperuntukkan bagi masyarakat adat. Ia menegaskan pemerintah perlu segera bergerak melaksanakan amanat UU tanpa perlu menunggu masyarakat bergerak untuk menuntut haknya.
"Untuk Migas ini hanya berada di Provinsi Papua Barat dan ada di Kabupaten teluk Bintuni maka tentu pemerintah daerah dan pemerintah provinsi termasuk SKPD terkait sudah harus bergerak cepat. Akhir-akhir ini kita melihat masyarakat 7 suku di Bintuni itu gencar menuntut haknya," ujarnya.
"Seharusnya dengan adanya dasar hukum Undang-Undang Otsus dan peraturan pemerintah, rakyat tidak perlu menuntut haknya karena pemerintah sudah punya kewajiban untuk menyediakan hak-hak warga negara Indonesia atau hak-hak masyarakat adat 7 suku di Bintuni," tegasnya.
Klik halaman selanjutnya >>>