Bali memiliki 746 desa dan kelurahan. Dari jumlah tersebut, 120 desa masuk zona merah atau zona rawan bencana.
"Kalau berbicara desa, dari 746 saya memetakan sebenarnya hampir 120 desa yang masuk zona merah di seluruh Bali," kata Kepala Pelaksana (Kalaksa) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali I Made Rentin di Rumah Jabatan Gubernur Bali, Kamis (11/11/2021).
Rentin menjelaskan, peta rawan bencana diperbaharui lima tahun sekali oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peta rawan bencana tersebut didesain oleh tiga lembaga, yakni BNPB; Badan, Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG); serta Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KemenESDM).
"Jadi itu indikator-indikatornya adalah berdasarkan kolaborasi antara BMKG, BNPB yang ketiga Pusat Vulkanologi dan Geologi. Jadi kolaborasi antara tiga instansi pusat, BNPB, BMKG, Pusat Vulkanologi mengkolaborasikan meng-convert disebut dengan peta rawan bencana per wilayah," tutur Rentin.
Menurutnya, secara kebetulan Bali telah memiliki peta rawan bencana yang detail per kabupaten. Kemudian peta rawan bencana tersebut didetailkan per desa/kelurahan oleh BPBD di kabupaten/kota di Bali.
Rentin mengatakan, ketika berbicara mengenai desa/kelurahan yang berstatus zona merah tidak semata-mata berdasarkan ancaman cuaca ekstrem, tetapi ada potensi ancaman bencana lainnya.
Desa Perancak di Kabupaten Jembrana, misalnya, tidak memiliki ancaman bencana longsor. Akan tetapi desa tersebut memiliki potensi gempa dan tsunami. Karena itu, desa tersebut masuk zona merah dalam potensi ancaman tsunami.
Kini, dalam meminimalisasi terjadi bencana di 120 desa zona merah, Rentin mengatakan pihaknya tengah membangun peningkatan kapasitas masyarakat. Peningkatan kapasitas tersebut dilakukan dengan berbagai hal, termasuk membangun desa tangguh bencana.
"Itu yang kita bangun di desa-desa di Bali," jelas Rentin.
(rfs/rfs)