Jaksa Agung ST Burhanuddin mengeluarkan aturan penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika atau narkoba melalui proses rehabilitasi. Burhanuddin menyebut hal itu dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).
Aturan itu tertuang dalam Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 yang berlaku sejak tanggal 1 November 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.
"Maksud ditetapkannya Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 adalah menjadi acuan bagi penuntut umum guna optimalisasi penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif sebagai pelaksanaan asas dominus litis jaksa, sedangkan tujuan dari ditetapkannya pedoman tersebut ditujukan untuk optimalisasi penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif sebagai pelaksanaan asas dominus litis jaksa, sebagai pengendali perkara," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan tertulisnya, seperti dikutip, Senin (8/11/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika dilihat dalam beleid pedoman yang diterima detikcom, Jaksa Agung Burhanuddin memberikan sejumlah persyaratan agar para penyalahguna narkotika bisa direhabilitasi. Pertama, penyalahguna narkoba yang bisa direhabilitasi jika melanggar Pasal 127 ayat (1) Undang-undang Narkotika.
"Jenis dan persyaratan rehabilitasi melalui proses hukum terdiri atas rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Terhadap tersangka yang disangkakan melanggar Pasal 127 ayat (1) UU narkotika, dapat dilakukan rehabilitasi melalui proses hukum sebagaimana dimaksud angka 1," begitu bunyi beleid Bab IV Penuntutan poin B angka 1 a dan b dan angka 2.
Selanjutnya, syarat rehabilitasi bagi penyalahguna narkoba. Syarat pertama pelaku dipastikan positif narkotika melalui pemeriksaan laboratorium forensik.
Kemudian, syarat rehabilitasi penyalahguna narkoba berlaku jika tersangka tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkotika. Tak hanya itu, syarat rehabilitasi juga berlaku untuk pelaku yang tidak memiliki barang bukti dan juga minim barang bukti.
"Berdasarkan hasil penyidikan dengan menggunakan metode know your suspect , tersangka tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkotika dan merupakan pengguna terakhir (end user)," bunyi angka 4 poin b.
"Tersangka ditangkap atau tertangkap tangan tanpa barang bukti narkotika atau dengan barang bukti narkotika yang tidal melebihi jumlah pemakaian satu hari," bunyi angka 4 poin c.
Pedoman yang dikeluarkan Burhanuddin terdiri IX Bab yang mengatur mulai dari proses pra penuntutan, penuntutan, pengawasan, pelatihan hingga pembiayaan penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi. Pedoman ini diteken Jaksa Agung ST Burnanuddin.
"Latar belakang dikeluarkannya pedoman tersebut, memperhatikan sistem peradilan pidana saat ini cenderung punitif, tercermin dari jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan yang melebihi kapasitas (overcrowding) dan sebagian besar merupakan narapidana tindak pidana narkotika," jelas Leonard.
Leonard mengatakan lapas yang melebihi kapasitas telah menjadi perhatian serius pemerintah sebagaimana dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Karena itulah, Leonard menyebut perlu adanya kebijakan kriminal yang bersifat strategis terutama pada perkara narkotika.
"Isu overcrowding telah menjadi perhatian serius masyarakat dan pemerintah sebagaimana dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 dalam rangka perbaikan sistem hukum pidana melalui pendekatan keadilan restoratif. Oleh karenanya diperlukan kebijakan kriminal yang bersifat strategis, khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika," ucapnya.