Pukat UGM Nilai Argumen MA Cabut PP Pengetatan Remisi Koruptor Tak Kuat

Pukat UGM Nilai Argumen MA Cabut PP Pengetatan Remisi Koruptor Tak Kuat

Kadek Melda Luxiana - detikNews
Selasa, 02 Nov 2021 16:59 WIB
Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, Kamis (16/5/2019).
Zaenur Rohman (Usman Hadi/detikcom)
Jakarta -

Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman menilai putusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012, yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor, tidak cukup kuat. Dia mengatakan tiga argumen mendasar MA mulai diskriminasi hingga overcrowded tidak cukup kuat.

"Menurut saya, argumen dari MA tidak cukup kuat dari soal diskriminasi, kedua soal seharusnya tidak ada intervensi kepada lembaga pemasyarakatan, ketiga soal overcrowded. Ketiga argumen tersebut, menurut saya, tidak cukup kuat untuk menghapus pengetatan dalam PP 99/2012," kata Zaenur dalam diskusi virtual yang disiarkan YouTube ICW, Selasa (2/11/2021).

Zaenur mengatakan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana umum berbeda, sehingga jika ada ketentuan tambahan yang membedakan, tidak dapat disebut sebagai diskriminasi. Menurutnya, tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang khas dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan dampaknya meluas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita melihat tindak pidana korupsi berbeda dengan tindak pidana umum dengan tindak pidana lain, sehingga seharusnya jika ada ketentuan tambahan yang membedakan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana lain, itu bukan merupakan suatu bentuk diskriminasi atau kalau itu merupakan suatu bentuk diskriminasi, itu adalah diskriminasi yang diizinkan UU. Menurut saya, sebenarnya MA nggak cukup kuat untuk beralasan bahwa itu merupakan suatu bentuk diskriminasi," ujarnya

"(Tindak pidana korupsi) ini adalah tindak pidana yang khas dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan sehingga masuk ke dalam kelompok tindak pidana jabatan. Kedua, dampaknya sangat berbeda dengan pidana umum. Tindak pidana korupsi itu dampaknya meluas dan dia bersifat seperti punya efek domino," lanjutnya.

ADVERTISEMENT

Zaenur menuturkan PP tersebut membuka peluang adanya intervensi dari lembaga luar dalam memberikan remisi tambahan. Salah satunya dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

"Remisi diberikan kepada semua atau remisi diberikan dengan syarat itu sama-sama membuka peluang adanya 'intervensi' dari lembaga luar. Kalau kita cek misalnya di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, itu juga dimungkinkan bagi LPSK untuk memberikan rekomendasi ketika pelaku bekerja sama itu menjalani pidana rekomendasi adanya remisi agar mereka dapat memperoleh hak-hak remisi," tuturnya.

Zaenur menyampaikan jumlah napi koruptor di lapas sangat kecil tidak mencapai 1 persen, sehingga overcrowded lapas tidak bisa disalahkan kepada napi koruptor.

"Tidak sampai 1 persen, hanya di bawah 2.000 dari total hampir 200 ribu warga binaan di lembaga pemasyarakatan," ucapnya.

Selengkapnya di halaman berikutnya

Dalam pertimbangannya, majelis judicial review menyatakan narapidana bukan hanya objek, tapi juga subjek, yang tidak berbeda dengan manusia lainnya, yang sewaktu-waktu dapat melakukan kekhilafan yang dapat dikenai pidana sehingga tidak harus diberantas. Namun yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum.

"Bahwa, berdasarkan filosofi pemasyarakatan tersebut, rumusan norma yang terdapat di dalam peraturan pelaksanaan UU No 12 Tahun 1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice," kata jubir MA Hakim agung Andi Samsan Nganro kepada detikcom, Jumat (29/10).

Majelis menilai sejatinya hak mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali. Yang artinya berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan haknya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan.

"Persyaratan untuk mendapatkan remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan dan justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan serta harus mempertimbangkan dampak overcrowded di lapas," tutur majelis.

Ditjen Pemasyarakatan (Pas) mengatakan sampai saat ini masih menggunakan PP Nomor 99 Tahun 2012 dalam memberikan remisi kepada koruptor. Ditjen Pas juga akan melihat kelanjutan dari putusan MA itu ke depannya.

"Jadi semuanya memang pemberian hak itu berdasarkan peraturan. Kita lihat kelanjutannya ya, apakah ada perubahan dari PP ini. Tapi yang pasti, kami sampai saat ini masih memberikan remisi berdasarkan PP 99 Tahun 2012 untuk kasus korupsi," kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen Pas Kemenkumham Rika Aprianti kepada detikcom, Jumat (29/10/2021).

Rika mengatakan pihaknya tentu akan tetap memberikan remisi sesuai peraturan hukum yang berlaku, karena merupakan hak para narapidana. Dia menyebut pencabutan PP itu masih dilakukan pemantauan.

Halaman 2 dari 2
(dek/isa)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads