Sejumlah advokat mendaftarkan gugatan tarif batas tertinggi pemeriksaan RT PCR ke Mahkamah Agung (MA). Menurut mereka, tes PCR harusnya gratis dan warga tidak perlu bayar sepeser pun.
"Kami sudah mengajukan resmi permohonan Hak Uji Materiil Ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kami sekiranya pukul 11.30 sudah diterima dengan resmi permohonan kami oleh bagian Pratalak TUN" kata juru bicara Tim Advokasi Supremasi Hukum, Richan Simanjuntak kepada wartawan, Senin (1/11/2021).
Tim Advokasi Supremasi Hukum mengajukan judicial review atas Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.02/I/3843/2021 Tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Dalam SE itu, tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR ditetapkan sebesar Rp275 ribu untuk Pulau Jawa dan Bali, serta Rp300 ribu untuk luar Pulau Jawa dan Bali. Menurut pemohon, SE itu bertentangan dengan UU Kesehatan dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Surat Edaran tersebut memberatkan kami pemohon termasuk masyarakat Indonesia karena pelayanan RT PCR sejatinya merupakan pelayanan kesehatan tanggap darurat yang seharusnya ditanggung sepenuhnya oleh APBN/APBD (Pasal 82 UU Kesehatan). Jadikanlah RT PCR itu tanpa beban kepada masyarakat," kata Richan yang didampingi oleh dua rekannya Johan Imanuel dan Santo Abed Nego.
Pemohon menyatakan memiliki kepentingan dan menyatakan beberapa keberatan. Seperti Surat Edaran tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan juncto UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Karena Surat Edaran tersebut bertentangan dengan UU Kesehatan otomatis bertentangan juga dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan karena bentuknya seolah-olah seperti peraturan (regeling) yang mengikat dan berlaku umum," kata Richan.
"Ini menimbulkan kebingungan dan kepastian hukum sehingga layak dicabut karena telah melebihi dari kedudukannya sebagai Surat Edaran," sambung Richan.
Richan juga menyatakan Pemerintah wajib menjamin pelayanan kesehatan termasuk biaya RT PCR tanpa kecuali dengan alasan apapun.
"Iya kan Pemerintah diberikan akses seluas-luasnya untuk pemberdayaan sumber daya alam demi kepentingan masyarakat Indonesia (Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945. Kan itu menjadi bagian dari pemasukan ke APBN/APBD sehingga pemerintah harus mampu mengelola kemakmuran rakyat termasuk juga untuk biaya pelayanan kesehatan tanggap darurat dalam situasi Bencana Non Alam (Keppres 12/2020)," tutup Richan.
Lihat juga Video: Naik Pesawat di Jawa-Bali Tak Wajib PCR Lagi, Cukup Antigen
Untuk diketahui, advokat anggota Peradi Jakarta Selatan, Singgih Tomi Gumilang juga memohon uji materiil ke Mahkamah Agung (MA) tentang peraturan mengenai kewajiban tes PCR bagi penumpang pesawat terbang. Singgih meminta agar dikembalikan ke peraturan semula yaitu cukup tes antigen bagi yang sudah divaksin 2 kali.
Singgih mengajukan permohonan uji materiil Ketentuan Khusus halaman 10 huruf P ayat (2), halaman 17 huruf P ayat (2), dan halaman 22 huruf P ayat (2) Instruksi Menteri Dalam Negeri (Ipmendagri) Nomor 53 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 3, Level 2, dan Level 1 Corona Virus Disease 2019 di wilayah Jawa dan Bali. Dan angka 5 huruf (d) ayat 1 dan ayat 2 Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 88 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri Dengan Transportasi Udara pada masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
"Pemohon merasa dirugikan akibat berlakunya aturan tersebut, sehingga menggunakan batu uji Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," ujar Singgih.
Singgih selaku advokat menyatakan dalam pekerjaannya mendampingi klien kerap kali bepergian ke luar kota Jawa-Bali dan seluruh Indonesia, sangat beririsan dengan pokok bahasan uji materil. Juga karena kerap kali terhambat dalam perjalanan menggunakan moda pesawat udara dikarenakan peraturan yang digugat itu.
"Kebijakan yang dibuat juga dirasa diskriminatif, karena membeda-bedakan antara calon penumpang transportasi udara, air, dan darat," ujar Singgih.
Oleh sebab itu, Singgih meminta agar kewajiban tes PCS dihapuskan. Sebagai gantinya, kembali ke tes antigen.
"Dengan syarat sudah divaksin dua kali," pungkas Singgih.