Pusako Kritik Keras MA soal Koruptor Kini Lebih Mudah Dapat Remisi

Lisye Sri Rahayu - detikNews
Sabtu, 30 Okt 2021 05:25 WIB
Feri Amsari (Foto: Ari Saputra)
Jakarta -

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari mengkritik keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor. Feri menilai putusan ini membuat koruptor makin kuat untuk merusak elemen demokrasi.

"Sedari awal MA memang miskin keberpihakan dalam pemberantasan korupsi. Dengan putusan tersebut, kian hari kian membuat koruptor kian menguat merusak elemen-elemen demokrasi," kata Feri kepada wartawan, Jumat (29/10/2021).

Feri juga mengkritik alasan MA mencabut pengetatan remisi ini karena majelis menilai hak mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali kepada terpidana. Menurut Feri, terpidana korupsi tidak bisa disamakan dengan kasus lain karena termasuk kejahatan luar biasa.

"Bedalah kan kejahatan khusus harus mendapatkan tindakan khusus. Di mana-mana terhadap kejahatan luar biasa juga diberlakukan beda. Jangan ke teroris diberlakukan beda, sementara kejahatan lebih jahat dari teroris, yaitu korupsi malah dicari-cari alasan untuk meringankan hukuman," jelas dia.

Lebih lanjut, Feri tidak ingin berasumsi bahwa putusan MA berpihak pada koruptor. Akan tetapi, dari putusan itu, dia menilai MA tidak menunjukkan keberpihakannya kepada pemberantasan korupsi.

"Aku tidak mau berasumsi, tapi kita kan bisa baca arah putusan sama sekali tidak menunjukkan keberpihakan pada pemberantasan korupsi," katanya.

Dengan dicabutnya pengetatan remisi kepada koruptor ini, Feri khawatir kejahatan korupsi makin banyak. Sebab, ancamannya tidak lagi menakutkan.

"Tentu membuat kejahatan korupsi kian banyak karena ancamannya tidak menakutkan," tuturnya.

Alasan Majelis Cabut PP Pengetatan Remisi Koruptor

Dalam pertimbangannya, majelis judicial review menyatakan narapidana bukan hanya objek, tapi juga subjek, yang tidak berbeda dengan manusia lainnya, yang sewaktu-waktu dapat melakukan kekhilafan yang dapat dikenai pidana sehingga tidak harus diberantas. Namun yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum.

"Bahwa, berdasarkan filosofi pemasyarakatan tersebut, rumusan norma yang terdapat di dalam peraturan pelaksanaan UU No 12 Tahun 1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice," kata jubir MA Hakim agung, Andi Samsan Nganro, kepada detikcom, Jumat (29/10).




(lir/knv)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork