Kawasan Hutan Penyanggah TNBT Dikuasai Warga
Rabu, 19 Apr 2006 20:15 WIB
Pekanbaru - Kawasan hutan penyanggah Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang akan dirasionalisasi, kini sebagian telah dikuasai warga untuk dijadikan perkebunan sawit. Penguasaan lahan itu diduga melibatkan oknum kepala desa. Pantuan detikcom di lapangan, penguasaan lahan ini terjadi di Desa Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau. Lahan yang dikuasai masyarakat ini merupakan eks HPH PT Seberida Wahana Sejahtera (SWS) yang sudah habis masa konsesinya tahun 1997 silam. Luas lahan eks HPH seluas 1.30 ribu hektar sesuai dengan peraturan semestinya kembali ke negara. Namun kini, lahan negara itu dianggap tidak bertuan oleh masyarakat di sana. Itu sebabnya, kini di sisi jalan poros yang pernah dibuat perusahaan itu, seluruhnya dikuasai masyarakat. Di sepanjang jalan poros lebih kurang 25 km mengarah keperbatasan TNBT sudah berdiri patok-patok sebagai bentuk kepemilikan warga setempat. Malah sebagian kawasan hutan penyanggah itu sudah ditebangi dan dibakar. Dalam waktu dekat kawasan yang sudah dibersihkan lewat pembakaran akan segera ditanami padi darat. Padahal, kawasan eks HPH PT SWS itu, direncanakan pihak Balai TNBT dan NGO sebagai kawasan rasionalisasi TNBT. Pengakuan Sumardi (45) warga Desa Keritang, pihaknya lewat kelompok tani sudah menguasai lebih dari 120 hektar. Setiap hektarnya, mereka membayar Rp 500 ribu kepada Kepala Desa Keritang. Ini belum lagi warga pendatang dari Sumut atau Jambi yang ramai-ramai mengkavling kawasan rasionalisasi tersebut. "Kami menguasai lahan ini, karena sudah mendapat izin dari Kepala Desa. Bagi kelompok tani setiap hektarnya kami bayar Rp 500 ribu. Namun bagi warga pendatang, harganya bisa lebih mahal, yakni satu hektar minimal Rp 1 juta," kata Sumardi kepada detikcom. Menurutnya, kini diperkirakan lebih dari 1.500 hektar masyarakat telah mengusai lahan tersebut. Penguasaan lahan ini, katanya, guna memperluas perkebunan sawit masyarakat setempat. "Kami tidak tahu hutan itu milik siapa. Cuma karena sudah mendapat izin dari kepala desa, tentulah kami membelinya. Ini kan guna meningkatkan perekonomian masyarakat," kata Sumardi eks transmigrasi asal Aceh yang sudah menetap di Riau sejak tahun 1997 silam.Sementara itu, Kepala Balai TNBT, Moh Haroyono mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan adanya penguasaan lahan tersebut. Padahal, sejak tahun 2005 silam, kawasan penyanggah eks HPH itu, sudah diajukan sebagai rasionalisasi TNBT. "Kita akan meminta kepada pemerintah daerah untuk segera menertibkan penguasaan lahan tersebut. Sebab, lahan yang kini dikuasai masyarakat itu, merupakan kawasan yang akan kita rasionalisasikan," kata Hariyono. Hariyono menjelaskan, dengan adanya penguasaan lahan oleh masyarakat, hal itu justru akan mengancam rencana rasionalisasi. Sebelum penjarahan lahan negara itu meluas, pihaknya akan segera berkoordinasi dengan pemerintah daerah."Penguasaan lahan itu jelas illegal. Sebab, sesuai dengan peraturan lahan eks HPH statusnya kembali ke negara," katanya.
(ddn/)