Anggota tim pengacara korban Laskar FPI, Azis Yanuar, mengkritik dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap dua terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dan M Yusmin Ohorella dalam kasus pembunuhan dan penganiayaan terkait insiden penembakan di Km 50 Tol Cikampek. Azis mengkritik terkait proses peradilan terdakwa yang menurutnya mestinya diproses sesuai peradilan HAM.
"Seharusnya proses peradilan bagi kedua Terdakwa tersebut dilakukan menurut proses yang diatur dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang peradilan HAM dan didakwa dengan Pasal 37 juncto Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000 dan Pasal 39 juncto Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000 karena peristiwa Km 50 bagi kami termasuk kejahatan kemanusiaan dikarenakan terdapat dugaan kuat serangan sistematis terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan serta dugaan penyiksaan," kata Azis dalam keterangan tertulisnya, Selasa (19/10/2021).
Selain itu, kedua terdakwa didakwa dengan dakwaan primer Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 351 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Menurut Azis, dakwaan tersebut tidak cermat. Sebab, menurutnya, para terdakwa juga semestinya didakwa dengan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Berdasarkan fakta bahwa terdapat kesengajaan yang terlihat salah satunya dari ada setidaknya tiga luka tembak yang identik pada keenam pengawal Habib Rizieq Shihab di bagian dada sebelah kiri halmana menunjukkan kesengajaan untuk menghabisi nyawa enam pengawal tersebut yang sebelumnya telah dilakukan penguntitan dan pengejaran tanpa ada alasan hukum yang jelas," ungkapnya.
Lebih lanjut Azis mengkritisi dakwaan JPU yang hanya menyatakan empat orang pengawal Habib Rizieq Syihab yang dibunuh oleh kedua Terdakwa. Menurut Azis, hal tersebut adalah upaya pengaburan fakta hukum, karena ia menyebut faktanya diketahui pengawal Habib Rizieq Shihab yang tewas dibunuh berjumlah enam orang.
"Fakta tersebut dikuatkan dengan keterangan saksi seorang petugas derek di Km 50 yang telah diperiksa Komnas HAM menyebutkan bahwa dua orang pengawal Habib Rizieq Shihab yang sudah terkena luka tembak di Km 50 masih hidup, namun kemudian didapati keenam pengawal Habib Rizieq Shihab itu meninggal dengan luka tembak yang identik di bagian jantung," imbuhnya.
Sementara itu, Azis menyoroti dakwaan jaksa penuntut umum yang dinilai menyudutkan korban pengawal Habib Rizieq yang disebut berupaya merebut senjata api dari terdakwa. Menurutnya, pernyataan tersebut mengada-ada.
"Isi surat dakwaan JPU yang menyudutkan bahwa pengawal Habib Rizieq Shihab merebut senjata api dari terdakwa adalah kengawuran yang nyata, oleh karena pernyataan itu dibuat oleh Terdakwa dan rekan Terdakwa sendiri," katanya.
"Faktanya pengawal Habib Rizieq Shihab yang notabene merupakan korban unlawful killing, yang ditemukan luka-luka diduga akibat penganiayaan malah dikesampingkan oleh JPU, sehingga tampak jelas paradigma JPU dalam surat dakwaannya malah berputar sebagai pembela Terdakwa dan sama sekali tidak mewakili negara dalam penegakan hukum guna perlindungan hak korban yang telah dirampas oleh para Terdakwa," imbuhnya.
Azis kembali menyoroti tentang upaya penguntitan dan pengejaran terhadap Habib Rizieq dan rombongannya yang dilakukan para terdakwa. Sebab, menurut Azis, saat itu Habib Rizieq baru dipanggil sebagai saksi sehingga ia menilai upaya penguntitan itu merupakan bagian dari unlawful.
"Akan tetapi penguntitan dan pengejaran terhadap Habib Rizieq Shihab dan rombongan juga adalah unlawful, yakni bukan didasari sistem peradilan pidana Indonesia, karena posisinya saat itu Habib Rizieq Shihab statusnya masih terpanggil sebagai saksi pada panggilan kedua yang jatuh pada tanggal 7 Desember 2020, bukan sebagai tersangka, apalagi dinyatakan sebagai DPO, namun sudah dikuntit dan dikejar yang dirasakan mulai 5 Desember 2020, sehingga patut diduga ada upaya sistematis untuk mencelakai rombongan Habib Rizieq Shihab," ungkapnya.
Lebih lanjut, tim pengacara korban Laskar FPI menuntut agar aparat penegak hukum mengungkap tragedi Km 50 ini secara terang benderang dan tidak berhenti pada sosok eksekutor lapangan.
"Akan tetapi wajib juga diungkap pemberi perintah dari eksekutor lapangan tersebut sehingga benar-benar di Indonesia yang merupakan negara hukum tidak ada lagi impunitas, terutama sekali oleh state actor," ujarnya.
"Bahwa perkembangan proses atas pelanggaran HAM atas terbunuhnya enam pengawal Habib Rizieq Shihab terutama konstruksi dakwaan JPU membuktikan bahwa adanya sikap unwilling dan mekanisme hukum nasional yang unable dalam pengungkapan pelanggaran HAM, sehingga akan menjadi pintu masuk bagi mekanisme internasional dalam upaya penegakan HAM," sambungnya.
Sebelumnya, Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan didakwa melakukan pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian dalam kasus Km 50. Kedua polisi itu sebenarnya didakwa bersama seorang lagi, yaitu Ipda Elwira Priadi, tetapi yang bersangkutan sudah meninggal dunia karena kecelakaan.
"Bahwa akibat perbuatan terdakwa (Ipda Yusmin) bersama-sama dengan Briptu Fikri Ramadhan serta Ipda Elwira Priadi (almarhum) mengakibatkan meninggalnya Luthfi Hakim, Akhmad Sofyan, M Reza, M Suci Khadavi Poetra," ucap jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin (18/10/2021).
Kasus bermula saat Ipda Yusmin, Briptu Fikri, dan Ipda Elwira bersama empat polisi lain diperintahkan memantau pergerakan Habib Rizieq Shihab. Sebab, saat itu Habib Rizieq tidak hadir memenuhi panggilan penyidik Polda Metro Jaya terkait kasus pelanggaran protokol kesehatan.
Di sisi lain, polisi menerima informasi tentang simpatisan Habib Rizieq akan mengepung Polda Metro Jaya pada Senin, 7 Desember 2020, di mana seharusnya Habib Rizieq memenuhi panggilan Polda Metro Jaya. Ketujuh polisi itu lalu melakukan pemantauan di Perumahan The Nature Mutiara Sentul Bogor di mana Habib Rizieq berada.
Namun saat itu dari perumahan itu muncul 10 mobil yang diduga rombongan Habib Rizieq. Ketujuh polisi itu mengikuti menggunakan 3 mobil.
Dalam perjalanan, salah satu mobil polisi dicegat dan diserempet mobil yang diduga berisi para Laskar FPI. Para Laskar FPI itu disebut jaksa sempat menyerang mobil polisi menggunakan pedang.
"Selanjutnya, laki-laki yang menggunakan jaket warna biru membawa pedang gagang warna biru atau samurai melakukan penyerangan ke mobil dengan cara mengayunkan pedang gagang warna biru tersebut dan membacok kap mesin mobil kemudian melanjutkan amarahnya dengan menghunjamkan pedangnya sekali lagi ke arah kaca depan mobil secara membabi buta," ucap jaksa.
Polisi sempat memberikan tembakan peringatan tetapi anggota Laskar FPI balik menodongkan senjata. Setelahnya terjadi aksi kejar-kejaran di mana saat anggota Laskar FPI kembali menodongkan senjata. Polisi pun membalas dengan menembak ke arah mobil para anggota Laskar FPI itu.
"Ipda Mohammad Yusmin Ohorella melakukan penembakan beberapa kali yang diikuti oleh Briptu Fikri melakukan penembakan ke arah penumpang yang berada di atas mobil anggota FPI dengan jarak penembakan yang sangat dekat kurang-lebih 1 meter," ujar jaksa.
Singkat cerita, kejar-kejaran itu berakhir di rest area Km 50. Saat diperiksa polisi, ada dua orang yang sudah tewas di dalam mobil anggota FPI itu, sisanya 4 orang masih hidup.
Polisi lalu membawa empat orang yang masih hidup itu tetapi tidak diborgol yang disebut jaksa tidak sesuai standard operating procedure (SOP). Keempat anggota FPI itu lalu disebut menyerang dan berupaya mengambil senjata polisi.
Briptu Fikri dan Ipda Elwira pun menembak mati empat anggota FPI itu di dalam mobil. Akibat perbuatannya, para terdakwa itu dikenai Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 351 ayat (3) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.