Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menegaskan perubahan regulasi UNJ terkait pemberian gelar doktor kehormatan bukan dipaksakan untuk memberi gelar kehormatan kepada pejabat. Aliansi Dosen UNJ pun menyatakan sikap tetap menolak perubahan itu.
Penolakan itu disampaikan perwakilan Presidium Aliansi Dosen UNJ Ubedilah Badrun, Abdhil Mughis Mudhofir, Abdi Rahmat, dan Rakhmat Hidayat. Mereka menyatakan tetap menolak perubahan aturan pemberian gelar doktor kehormatan.
"Terhadap rilis tersebut, kami Aliansi Dosen UNJ menyatakan Sikap: TETAP MENOLAK mengubah aturan pemberian gelar doktor kehormatan yang telah disepakati pada rapat pleno Senat UNJ tanggal 10 Maret 2021," kata Presidium Aliansi Dosen UNJ melalui keterangan tertulis, Selasa (19/10/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Presidium Aliansi Dosen UNJ mengatakan argumen UNJ yang mengatakan bahwa pedoman telah dibuat tidak berkesesuaian dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2012 Pasal 27 dan Permenristekdikti No 65 Tahun 2016 adalah argumen yang salah dan tidak utuh dalam memahami Pasal 27 UU No 12 Tahun 2012.
"Kami menilai Rektor hanya mengambil ayat 1 saja. Padahal, dalam Pasal 27 itu ada ayat 2 yang berbunyi bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai gelar doktor kehormatan diatur dalam peraturan menteri (permen)," ucapnya.
Ubedilah dkk mengatakan dalam Permenristekdikti 65/2016 Pasal 2 ayat 3 disebutkan bahwa tata cara dan syarat pemberian gelar doktor kehormatan diatur oleh masing-masing perguruan tinggi. Dia menilai aturan mengenai pemberian gelar doktor kehormatan yang telah ditentukan pada rapat pleno 10 Maret 2021 adalah keputusan yang sudah sah dan memiliki dasar hukum kuat.
"Jadi sesungguhnya Pedoman Pemberian Gelar Dr HC itu memiliki dasar hukum yang kuat karena sesuai Pasal 2 ayat 3 Permenristekdikti 2016 dan Pasal 27 ayat 2 UU No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi yang mewajibkan kampus membuat aturan pemberian gelar Dr HC itu. Jadi pedoman penganugerahan gelar doktor kehormatan itu adalah aturan yang sah yang berlaku di UNJ yang sudah diputuskan dalam rapat pleno Senat Universitas sebagai majelis keputusan tertinggi Universitas pada tanggal 10 Maret 2021," jelasnya.
Adapun rapat pleno Senat Universitas pada 10 Maret 2021 telah menghasilkan ketentuan baru, di antaranya poin ke-3 dalam bab persyaratan yang terdapat dalam Pedoman Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan yang menyatakan bahwa UNJ tidak memberikan gelar Dr HC kepada pejabat. Menurut Ubedilah dkk, itu adalah aturan baru yang progresif.
"Sebab, selama ini pemberian gelar Dr HC banyak diberikan kepada pejabat karena ada kepentingan pragmatis dan dijadikan instrumen transaksional antara elite kampus dan elite penguasa. Lebih dari itu, pemberian gelar Dr HC untuk pejabat juga telah merusak otonomi dan marwah universitas," katanya.
Karena itu, Presidium Aliansi Dosen UNJ menyatakan tetap menolak jika UNJ tetap mengubah aturan tentang pemberian gelar doktor kehormatan itu. Mereka menduga ada maksud tersembunyi di balik perubahan aturan itu.
"Kami menilai ngotot-nya UNJ mengubah pedoman yang telah diputuskan memperkuat analisis bahwa 'ada udang di balik batu'. Ada kepentingan non-akademik (seperti politik balas budi atau kepentingan materiil lainnya) di balik pemberian gelar kepada Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir. Jika gelar Dr HC itu diberikan kepada yang bukan pejabat atau mantan pejabat, tentu aturan itu tidak perlu diubah," tegasnya.
Selanjutnya penjelasan UNJ
Penjelasan UNJ
Diketahui, UNJ melalui website dan akun media sosial resminya mengeluarkan rilis pada Senin (18/10). Rilis itu ada lima poin menyikapi pemberitaan tentang penolakan Presidium Aliansi Dosen UNJ.
Pada intinya, UNJ berencana akan mengubah Pedoman Pengusulan Penganugerahan doktor kehormatan. Dalam keterangan di poin ketiga menyebutkan bahwa pedoman yang sebelumnya telah dibuat terkait pemberian gelar doktor kehormatan tidak berkesesuaian dengan UU No 12 Tahun 2012 Pasal 27 dan Permenristekdikti No 65 Tahun 2016.
Berikut isi keterangan pers UNJ:
Menyikapi berita yang sedang berkembang mengenai pemberian gelar doktor kehormatan di media massa beberapa hari belakangan ini, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) perlu meluruskan sejumlah informasi agar masyarakat dan sivitas UNJ mendapatkan pemahaman yang utuh.
Pertama, UNJ selalu menjunjung tinggi kebebasan akademik, kebebasan menyampaikan pikiran dan pendapat dengan mengedepankan rasionalitas dan tanggung jawab untuk mengembangkan lembaga.
Kedua, UNJ senantiasa berusaha meningkatkan dan memperbarui seluruh tata kelola lembaga yang baik (good governance) agar menjadi universitas yang semakin kuat dan unggul, sehingga berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan kemanusiaan.
Ketiga, Salah satu upaya meningkatkan dan memperbarui tata kelola lembaga yang baik (good governance) adalah dilakukannya harmonisasi regulasi UNJ, diantaranya peninjauan terhadap draf pedoman pengusulan penganugerahan doktor kehormatan. Peninjauan terhadap draf tersebut diperlukan karena terdapat ketentuan yang tidak berkesesuaian dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 27, Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2016, Statuta UNJ, dan Peraturan Rektor tentang pemberian gelar doktor kehormatan.
Keempat, Rapat Senat UNJ pada 14 Oktober 2021 memutuskan perlunya harmonisasi regulasi mengenai ketentuan dalam draf pedoman yang tidak berkesesuaian dengan ketentuan yang disebutkan pada butir ketiga. Harmonisasi ini dilakukan bukan untuk memaksakan pemberian gelar doktor kehormatan kepada seseorang.
Kelima, UNJ berkomitmen untuk selalu menjunjung tinggi prinsip-prinsip integritas, legalitas, transparansi, kepatutan, dan kesetaraan pada setiap aktivitas, termasuk dalam pemberian gelar doktor kehormatan.
Demikian pernyataan pers ini sebagai informasi resmi tentang pemberitaan pemberian gelar doktor kehormatan agar menjadi bahan informan yang utuh bagi masyarakat dan sivitas UNJ.
Jakarta, 18 Oktober 2021
Humas, dan Informasi Publik UNJ